Thursday, July 9, 2015

Cadangan Devisa Indonesia Mengkhawatirkan Bila Terjadi Gejolak Rupiah Akibat Krisis Yunani

Posisi cadangan devisa Indonesia dinilai rentan karena terbilang masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean. Kondisi tersebut mengkhawatirkan mengingat hasil referendum Yunani diprediksi membuat dolar Amerika Serikat (AS) makin menguat, padahal cadangan devisa dibutuhkan untuk melakukan intervensi pasar uang.

Ekonom Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan rasio cadangan devisa Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) yang rendah membuatnya rentan jika terus menerus digunakan untuk mengintervensi pasar uang. "Cadangan devisa Indonesia saat ini US$ 108 miliar, atau 13 persen terhadap PDB. Bandingkan dengan Filipina 29 persen, Malaysia 33 persen dan Thailand 40 persen," jelasnya di gedung Bursa Efek Indonesia, Rabu (8/7).

Ia mengatakan ada beberapa opsi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut. Pertama, adalah melalui opsi penerbitan obligasi dalam valuta asing (global bond) yang bisa menyuplai jumlah valuta asing. "Namun hal itu berpengaruh ke rasio utang kita. Yang kedua, pemerintah bisa menjajaki kerjasama dengan negara yang cadangan devisanya besar seperti Amerika Serikat, agar mau menjadi stand by back up bagi kita yang lemah," jelasnya.

Budi mengungkapkan idealnya dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, rasio cadangan devisa terhadap PDB berada di kisaran 30 persen. Dalam hitungannya, porsi cadangan devisa tersebut masuk kategori aman. "Sekarang kita punya devisa US$ 108 miliar. Kalau bisa sampai US$ 200 miliar itu sudah cukup aman," jelasnya.

Apalagi, Budi menyatakan hasil referendum Yunani yang menolak bailout atau dana talangan bakal membuat dolar AS menguat. Hal itu dinilai bakal serta merta berimbas ke pelemahan rupiah. "Saya kira Bank Indonesia (BI) memang perlu intervensi. Level yang mendekati 13.500 itu sudah masuk kategori mengkhawatirkan," jelasnya.

Untuk diketahui, hari ini BI menetapkan kurs tengah rupiah berada di level Rp 13.346 per dolar. Level tersebut naik dari posisi pada Selasa (7/7) lalu di titik 13.313 per dolar. Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan dari sisi makro saat ini pelaku pasar berharap pada semester II belanja infrastruktur oleh pemerintah semakin meningkat. Hal itu diharapkan bisa mendorong aktivitas ekonomi dalam negeri.

"Sementara, untuk isu global, selain masalah Yunani masih ada tekanan dari rencana penaikan suku bunga AS oleh The Fed. Hal itu dinilai membuat pasar keuangan belum akan stabil dalam waktu dekat," ujarnya.

No comments:

Post a Comment