Pemerintah menargetkan pertumbuhan tahun depan di angka 5,5-6 persen. Membaiknya perekonomian global menjadi rujukan pemerintah dalam pengajuan pokok rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang dibahas DPR hari ini.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan penyusunan APBN 2015 didasarkan pada asumsi dasar ekonomi makro yang meliputi pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga minyak mentah Indonesia, hingga lifting minyak dan gas bumi juga menjadi acuan.
"Laju pertumbuhan ekonomi 2015 diperkirakan berada di kisaran 5,5-6 persen," ujarnya dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa, 20 Mei 2014. Ia menyatakan penyusunan APBN 2015 ini ditujukan sebagai pijakan pemerintahan baru sehingga pelayanan kepada masyarakat tetap berlangsung. "Diharapkan mampu memberikan ruang gerak bagi mereka sesuai program kerja yang dilaksanakan," ujarnya.
Chatib menyatakan tahun depan angka inflasi diprediksi berada di kisaran 4 hingga plus minus 1 persen. Untuk menjaganya, ucap dia, perlu jaminan pasokan kebutuhan masyarakat, perbaikan distribusi, serta optimalisasi instrumen moneter dan fiskal. "Faktor koordinasi pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci agar pencapaian terjaga," ujarnya.
Di lain pihak, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih dipengaruhi bauran beberapa faktor, baik dari luar dan dalam negeri. Chatib memprediksi nilai tukar rupiah tahun depan bergerak relatif stabil di kisaran Rp 11.500-Rp 12.000 per dolar AS. "Membaiknya koordinasi pemulihan ekonomi global seperti G20 memberikan transparansi bagi pasar keuangan global," kata dia.
Sedangkan untuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan yang dijadikan sebagai landasan pembayaran bunga utang, diperkirakan berada pada 6,0-6,5 persen atau sedikit lebih tinggi dari perkiraan 2014.
Terakhir, faktor dasar penentu ekonomi makro, yakni rujukan rata-rata minyak ICP, diperkirakan berada kisaran US$95-110 per barel, lifting minyak sekitar 900.000-920.000 barel per hari, dan untuk lifting gas bumi mencapai 1.200.000-1.250.000 barel setara minyak per hari.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menilai pemerintah terlalu pesimistis dalam targetnya terhadap asumsi kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran 2015. Terlebih lagi bila asumsi pertumbuhan ekonomi 2015 itu di bawah yang dipatok pada tahun ini.
"Tapi 2015 malah terlalu pesimis dengan target 5,5-6 persen," kata Lana ketika dihubungi, Senin, 26 Mei 2014. Padahal seharusnya pemerintah memiliki optimisme pada pertumbuhan ekonomi pada 2015 karena adanya pemerintah baru.
Ia mengungkapkan seharusnya dalam tahun pertama pemerintahan yang baru terbentuk sudah terjadi pembangunan-pembangunan infrastruktur dan realisasi janji-janji pada masa kampanye. Dengan begitu, ada dampak bagi pertumbuhan ekonomi karena adanya penambahan infrastruktur dan berbagai hal penunjang lainn yang akan memperbaiki perekonomian Indonesia.
Lebih jauh, Lana mengungkapkan, selain menumbuhkan optimisme pada pertumbuhan ekonomi, terbentuknya pemerintahan yang baru seharusnya juga berdampak positif bagi arus investasi yang masuk ke Indonesia. Terpilihnya presiden yang baru juga akan memberikan sentimen yang positif pada penguatan rupiah.
Adapun nilai tukar rupiah, menurut dia, seharusnya menguat pada masa-masa pemerintahan baru karena dorongan optimisme dan kepercayaan para investor untuk kembali berinvestasi di Indonesia.
Pekan lalu, Menteri Keuangan Chatib Basri menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran 2015 kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015, di antaranya disebutkan asumsi makro pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,5-6 persen. Sedangkan pada asumsi 2014 pertumbuhan ekonomi ditargetkan pada angka 6 persen.
Sedangkan ihwal nilai tukar rupiah, Chatib Basri menyampaikan pemerintah mematok angka Rp 11.500–12.000 per dolar AS. Pada 2014, pemerintah mematok kurs rupiah dengan dolar pada kisaran Rp 10.500 per dolar AS. Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, menyatakan anggaran direktoratnya akan dipangkas hampir 40 persen dalam anggaran negara 2015.
"Tahun anggaran 2014 kami mendapat anggaran Rp 452,8 miliar. Sedangkan 2015 hanya dianggarkan Rp 299,8 miliar," katanya seusai rapat kerja dengan Komisi VI DPR yang membidangi perindustrian pada Senin, 9 Juni 2014. Kementerian Perindustrian mengusulkan anggaran untuk 2015 sebesar Rp 4,8 triliun. Anggaran itu lebih besar dari 2014 yang Rp 2,9 triliun.
Euis menjelaskan, Direktorat Industri Kecil Menengah berencana memangkas beberapa program akibat pengurangan anggaran tadi, salah satunya program restrukturasi mesin. Program ini telah dicanangkan sejak 2010. "Program anggarannya kami potong Rp 4 miliar dari usulan 22 miliar. Sekitar 20 persennya."
Menurut Euis, anggaran restrukturasi mesin dipotong rata untuk semua sektor industri, kecuali sektor unggulan. Sektor unggulan tersebut antara lain kerajinan, fashion, dan makanan. Otoritas Jasa Keuangan menargetkan pengurangan ketergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2015. "APBN harus nol, tapi bertahap," kata Deputi Komisioner Manajemen Strategis I OJK Lucky Fathul Azis Hadibrata dalam diskusi di gedung Dewan Pers Indonesia, Senin, 17 Maret 2014.
Ia menjelaskan, OJK memerlukan dana besar untuk kegiatan operasional. Tahun ini alokasi anggaran untuk OJK tahun ini mencapai Rp 2,4 triliun, atau naik dibanding tahun lalu yang mencapai Rp 1,7 triliun. Tapi karena OJK harus mengawasi sejumlah lembaga keuangan mikro, kata Lucky, anggaran yang dikeluarkan akan lebih besar. Meski begitu, ia melanjutkan, OJK tidak meminta pembayaran dari lembaga tersebut.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, OJK menerapkan pungutan 0,03 persen bagi industri jasa keuangan. Salah satu pungutan ini yakni menekan ketergantungan pada APBN. Namun nilai pungutan yang diperkirakan mencapai Rp 1,67 triliun itu belum cukup untuk membiayai kegiatan operasional OJK dalam mengawasi industri jasa keuangan.
Adapun Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) menyatakan keberatan dengan adanya kebijakan pengenaan pungutan kepada pelaku jasa keuangan yang diterapkan OJK. "Kami tidak setuju karena bersifat ganda, berdasarkan aset dan pendapatan," ujar Ketua Umum APEI Lily Widjaja.
Pasalnya, menurut dia, perusahaan efek sudah dikenai pungutan transaksi saham dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Pungutan tambahan dari OJK ini dinilai akan menyulitkan perusahaan efek yang pendapatannya yang masih di bawah industri jasa keuangan lain.
No comments:
Post a Comment