Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, hingga akhir Desember tahun lalu, dari 11.018 rekomendasi, baru 7.132 atau 65 persen yang ditindaklanjuti. Padahal, berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang rekomendasi selambat-lambatnya 60 hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.
"Untuk itu, kami hari ini membahasnya dengan beberapa pihak," kata anggota BPK, Achsanul Qosasi, Kamis, 8 Januari 2015. Beberapa pihak yang dimaksud Achsandul antara lain Menteri Badan Usaha Milik Negara, Deputi Kementerian BUMN, Direktur dan komisaris BUMN, serta Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Dalam pertemuan itu, BPK juga menjelaskan rencana melakukan tiga jenis pemeriksaan pada 2015. Tiga jenis pemeriksaan itu meliputi audit keuangan, kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Melalui pemeriksaan yang sama, BPK mengklaim sudah menyelamatkan pengeluaran negara sebesar Rp 16,9 triliun dari koreksi atas subsidi dalam kurun waktu 2011-2013.
Pengeluaran lain yang diselamatkan adalah koreksi atas cost recovery sebesar Rp 2,9 triliun serta hasil tindak lanjut pemeriksaan BPK berupa penyerapan aset atau penyetoran uang ke kas negara sebesar Rp 146,03 miliar. Achsanul berharap manajemen perusahaan pleat merah bisa mempercepat penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan. "Tujuannya, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan negara."
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Aziz mengatakan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada entitas pemerintahan selama ini tak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Padahal, kata dia, seharusnya pengelolaan keuangan negara berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
“Untuk itu, kami akan memperhatikan pemeriksaan kinerja untuk upaya kesejahteraan rakyat,” kata Harry dalam pembukaan rapat kerja di Gedung BPK, Senin, 15 Desember 2014.Penilaian laporan keuangan, menurut Harry, sudah seharusnya bersamaan dengan pemeriksaan realisasi program untuk kemakmuran rakyat. “Seharusnya, dengan opini WTP untuk entitas pusat dan daerah diikuti dengan peningkatan kemakmuran rakyat.”
Saat ini, kata Harry, yang menjadi indikator kemakmuran rakyat adalah kemiskinan dan pengangguran. Ia tengah mengusulkan untuk menambah kesenjangan pendapatan dalam indikator tersebut. Harry menjelaskan pengelolaan keuangan negara seharusnya membuat kesenjangan pendapatan semakin menyempit. “Tak seperti sekarang, tahun 2007 angka kesenjangan pendapatan 0,37 dan menjadi 0,42 pada tahun 2013,” tuturnya.
Hingga tahun 2013, entitas pemerintah yang mendapat opini WTP sudah mencapai 74 persen. “Kalau yang ada penyimpangan, sudah kami laporkan ke aparat penegak hukum, dan menjadi wewenang mereka,” ucap Harry.
Untuk dapat memastikan korelasi pengelolaan keuangan dengan kesejahteraan rakyat, kata dia, BPK akan meningkatkan audit kinerja yang saat ini baru 20 persen dilakukan. Sisanya, 50 persen, adalah audit mandatory dan 30 persen audit investigasi.
No comments:
Post a Comment