Price Waterhouse Cooper (PwC), perusahaan audit asal Amerika Serikat memperkirakan harga minyak dunia tahun ini akan bergerak dikisaran US$ 60 sampai US$ 70 per barel. Ekonom senior PwC Richard Boxshall menjelaskan tiga penyebab utama harga minyak tersebut masih terbilang rendah adalah berkurangnya permintaan minyak dunia, meningkatnya cadangan minyak Amerika Serikat karena penambangan shale oil, serta tidak dipangkasnya produksi minyak negara anggota OPEC.
“Proyeksi kami mengasumsikan bahwa harga minyak akan berada pada rata-rata US$ 60-US$ 70 selama 2015 dan akan berada pada sekitar US$ 80 pada tutup tahun. Namun karena sifat harga minyak yang tidak dapat diprediksi, perusahaan harus menyiapkan beberapa skenario yang berbeda,” ujar Boxshall dalam siaran pers, dikutip Kamis (8/1).
Perkembangan harga minyak dunia, dipastikan akan terus dipantau oleh pemerintah. Sebab terhitung mulai 1 Januari 2015, pemerintah menerapkan kebijakan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. Kebijakan subsidi tetap tersebut mengharuskan pemerintah mengubah harga BBM yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar umum milik PT Pertamina (Persero) setiap satu bulan sekali.
Dalam menetapkan harga baru untuk solar dan premium yang sudah tidak disubsidi lagi,pemerintah menghitungnya berdasarkan harga minyak di pasar Brent dan Mean of Platts Singapore (MoPS) yang menjadi acuan harga minyak impor Indonesia serta nilai tukar yang berlaku saat itu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil menyatakan, turunnya harga minyak mentah dunia yang sempat berada di bawah US$ 50 per barel berpotensi menurunkan harga jual BBM solar dan premium ke masyarakat untuk periode penjualan Februari 2015.
“Kemungkinan besar kami akan turunkan lagi harga BBM. Tapi berapa turunnya, tunggu akhir bulan. Karena untuk menentukan harga jual BBM bersubsidi Februari 2015, pemerintah menggunakan komponen harga rata-rata MOPS 25 Desember 2014 sampai 24 Januari 2015 serta nilai tukar rupiah terhadap dolar,” jelasnya.
Sepanjang Januari-Desember 2014, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) tercatat US$ 96,51 per barel. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan harga ICP tertinggi terjadi Maret 2014 yaitu US$ 106,90 per barel, sedangkan harga terendah pada Desember 2014 sebesar US$ 59,56 per barel.
Sedangkan harga rata-rata minyak nasional Sumatera Light Crude (SLC) selama 2014 mencapai US$ 98,63 per barel. Harga SLC tertinggi terjadi pada Maret sebesar US$ 112,46 per barel dan terendah Desember US$ 60 per barel. Dibandingkan 2013, harga rata-rata ICP maupun SLC sepanjang 2014 mengalami penurunan. Pada 2013, rata-rata ICP mencapai US$ 105,85 per barel sedangkan harga SLC mencapai US$ 108,15 per barel.
Sementara itu, harga rata-rata ICP Desember 2013 hingga November 2014 mencapai US$ 100,48 per barel. Angka ini menjadi dasar penerimaan negara dan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) karena APBN menggunakan cash basis.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro memastikan rata-rata harga ICP tersebut lebih rendah dibandingkan asumsi yang ditetapkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2014 sebesar US$ 105 per barel. “Namun realisasi ICP yang lebih rendah ini hanya berdampak positif dan negatif terhadap fiskal karena di satu sisi mengurangi beban subsidi energi dan di sisi lain mengurangi penerimaan negara dari sektor migas,” ujar Bambang beberapa waktu lalu.
Terlebih, produksi minyak mentah Indonesia atau lifting tercatat hanya 794 ribu barel per hari (BPH) lebih rendah dibandingkan target 818 ribu BPH. Hanya lifting gas yang realisasinya sesuai dengan target yaitu 1,2 juta barel setara minyak per hari (BOEPD).
No comments:
Post a Comment