Menghadapi kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean di tahun 2015, para pelaku industri mengatakan bahwa insentif pemerintah akan sangat dibutuhkan untuk melindungi serangan arus barang impor akibat dibukanya pasar bebas. Para pelaku industri juga berharap bahwa insentif-insentif tersebut dapat meningkatkan kapasitas produksi industri yang masih rendah.
Ketua Indonesia Ship Building and Offshore Association Eddy Kurniawan mengatakan bahwa pengusaha di industrinya lebih membutuhkan insentif fiskal dibanding insentif teknis demi memperkuat produksi. Eddy mengatakan bahwa dengan komponen bahan industri yang sebagian besar merupakan komponen impor, penurunan bea masuk dirasa akan menggiatkan lagi industri galangan kapal yang kini sedang lesu.
"Selama ini kita selalu dikenakan biaya berupa pajak pertambahan nilai 10 persen dan bea masuk sebesar lima hingga 12 persen. Memang ini suasana yang tidak menyenangkan karena komponen impor kita mencapai 70 hingga 80 persen dari total keseluruhan komponen,” jelas Eddy.
Eddy menambahkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan begini terus maka industri galangan kapal Indonesia akan semakin kalah bersaing dengan kapal-kapal yang diproduksi dari negara-negara Asia lainnya. Bahkan, Indonesia bisa kebanjiran kapal-kapal impor mengingat kapasitas produksi di negara lain lebih besar dan efisien dibanding Indonesia.
"Tiongkok pada tahun lalu men-deliver kapal dengan total berat 45 juta dead weight ton (DWT). Filipina sekarang menjadi produsen kapal terbesar ke-lima di Asia yang men-deliver kapal sebesar 4,6 juta DWT. Sedangkan Indonesia tahun lalu hanya menyelesaikan kapal sebanyak 200 hingga 300 DWT. Bedanya jauh sekali,” tambahnya.
Rencana pemerintah untuk memberikan insentif fiskal bagi industri galangan kapal tahun depan, disambutnya dengan baik sekaligus berharap industri galangan kapal bisa lebih kompetitif dibanding sebelumnya.
"Kami melihatnya sebuah langkah yang sangat baik. Ya berikutnya diharapkan penerapan di lapangan juga lebih mudah sehingga industri galangan kapal kita bisa lebih fokus ke produksi, bukan ke masalah bea-bea lagi. Kebetulan pemerintah juga sedang fokus ke bidang kemaritiman, sehingga kita tidak perlu lagi impor kapal-kapal dari luar,” tambahnya.
Sementara itu pelaku industri tekstil berharap agar insentif pemerintah lebih ditekankan pada sisi operasional produksi. Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Tekstil Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan bahwa bantuan pemerintah, khususnya dari segi energi, mampu meringankan beban operasional industri tekstil agar bisa bertahan hidup dan berkompetisi ke depan.
"Kita mengharapkan kepada pemerintah untuk memberikan insentif kepada industri kita berupa pemotongan tarif listrik sebesar 40 persen untuk menjaga efisiensi biaya,” terang Ade.
Adanya efisiensi biaya ini nantinya akan membuat harga output produksi tekstil semakin kompetitif apabila dibandingkan dengan hasil produksi tekstil negara lain. Karena selama ini, pangsa pasar utama hasil tekstil Indonesia, yaitu Amerika Serikat (AS) memberikan bea masuk yang tinggi akibat Indonesia tidak mengikuti perjanjian ekonomi yang dilakukan oleh negara adidaya tersebut, sehingga menyebabkan harga ekspor tekstil Indonesia relatif lebih mahal dibanding hasil tekstil negara lain.
"Biaya kita selain tidak efisien, juga ada perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP) antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain seperti Vietnam dan Australia. Kita bukan anggotanya, sehingga kalau kita ekspor ke AS akan dibebankan bea sebesar 12 hingga 32 persen. Sedangkan bagi negara-negara anggota perjanjian tersebut bea masuk ke AS lebih murah,” kata Ade.
Menurut data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor tekstil antara Januari hingga September 2014 ke Amerika Serikat mencapai US$ 3,01 miliar dan merupakan negara tujuan ekspor produksi tekstil Indonesia yang paling besar. Sedangkan Ade mengatakan bahwa nilai ekspor tekstil total Indonesia yang mencapai US$ 12,7 miliar pada tahun 2013 hanya menyumbang sebesar 1,8 persen dari total potensi nilai tekstil dan garmen dunia yang nilainya mencapai US$ 711 miliar.
Terkait dengan adanya MEA, Ade juga berharap bahwa masuknya barang-barang tekstil impor bisa diimbangi dengan produksi tekstil dalam negeri yang menggunakan biaya lebih efisien. Selain itu, dia berharap masuknya tekstil impor ini tidak mengacaukan neraca perdagangan tekstil yang selalu surplus US$ 5 miliar sejak 1990.
"Sejak tahun 1990, meskipun ekspor dan impor tekstil nilainya berubah, kita selalu surplus US$ 5 miliar. Tidak pernah defisit,” tambahnya.
Meskipun mengharapkan jenis insentif yang berbeda, namun Eddy dan Ade menginginkan kondisi industri yang semakin kompetitif. Keduanya juga berharap pemerintah segera menyadari bahwa membangkitkan produktivitas industri nasional bukanlah tugas dari pelaku industri semata.
"Yang kita butuhkan adalah bagaimana pemerintah meningkatkan mood bagi para pelaku industri-industri ini agar kita tak kalah saing dengan hasil produksi negara lain,” pungkas Eddy.
No comments:
Post a Comment