Permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir 2014 lalu agar target penerimaan pajak bisa ditambah Rp 600 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 dinilai terlalu berat untuk bisa dicapai. Kementerian Keuangan hanya berani menaikkan target penerimaan pajak sebesar Rp 100 triliun menjadi Rp 1.301,7 triliun dari target APBN 2015 sebesar Rp 1.201,7 triliun.
"Dari sisi penerimaan, target pajaknya kira-kira naik Rp 100 triliun dibandingkan APBN 2015. Memang lebih besar dari sebelumnya karena kami sudah berkomitmen untuk meningkatkan penerimaan pajak,” ujar Bambang P.S. Brodjonegoro di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jumat (9/1).
Menurut Bambang, target ini meningkat sekitar 44 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak 2014 yang menyentuh angka Rp 981,9 triliun. Meskipun target pajak naik, Bambang memastikan hal tersebut belum bisa mempengaruhi defisit anggaran secara signifikan.
"Kenaikan target penerimaan pajak ini pada saat yang bersamaan juga mengompensasi penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor migas sebesar Rp 130 triliun. Namun meskipun begitu, kita tetap menargetkan defisit anggaran turun menjadi 1,9 persen dari sebelumnya 2,2 persen,” tambahnya.
Tantangan Berat
Selain menambah target penerimaan pajak, Kementerian Keuangan juga berusaha untuk memperbaiki tax ratio perpajakan yang ditargetkan sebesar 13,5 persen. Bambang juga mengatakan bahwa definisi tax ratio akan diubah seiring dengan esensi istilahnya.
"Jika sebelumnya tax ratio hanya berisi pajak dan bea cukai, kini definisi tax ratio yang baru adalah pajak, bea cukai, ditambah PNBP pertambangan umum. Karena memang itu seharusnya esensi dari tax ratio, tak hanya sekedar pajak,” jelasnya. Bambang mengakui bahwa meningkatkan penerimaan pajak adalah tantangan terbesar dalam merancang anggaran negara di tahun ini. Sebab keberhasilan menggenjot penerimaan pajak, artinya juga mampu menambah ruang fiskal anggaran.
"Tapi ini masih garis besar, lengkapnya kita tunggu DPR saja" jelasnya. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menuntut Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak meningkatkan penerimaan pajak khususnya dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi di tahun 2015. Sebab di Indonesia saat ini PPh masih sangat kecil. Oleh sebab itu peran Ditjen Pajak mesti diperluas kapasitasnya sebagai mesin penerimaan negara itu.
"Ada beberapa hal kenapa capaiannya kecil, kita menganut assesment system," ungkap Pengamat Pajak Darussalam beberapa waktu lalu. Dengan menganut assesment system tersebut, berarti wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung pajaknya sendiri. Sehingga, Ditjen Pajak harus selalu mengecek kebenaran informasi tersebut. Ketika wajib pajak diberi kepercayaan, Ditjen Pajak punya data untuk memeriksa seperti yang dilaporkan benar atau tidak.
Oleh karena itu, Darussalam menambahkan bahwa konteks perpajakan Indonesia punya kewenangan untuk meminta data pihak ketiga mengenai rekening di perbankan. Namun, Ditjen pajak masih membatasi diri mengenai hal itu karena terkendala Undang-Undang Perbankan yang tidak mengizinkan data nasabah diakses oleh semua pihak.
"Ada di pasal 35 tapi Ditjen Pajak ini membatasi diri. Ke depan butuh yang berani mengubah hal itu," tambah dia. Darussalam juga menekankan keberanian Ditjen Pajak untuk memidanakan pihak yang tidak memberikan data terkait kepentingan pajak. Sehingga reformasi di bidang administrasi pajak dapat terlaksana. "Dengan adanya aturan pencekalan ke luar negeri bagi para pengemplang pajak saya rasa pemerintah masih belum tegas," katanya.
Dirjen Pajak yang Kenal Hukum
Dia mengatakan jabatan Direktur Jenderal Pajak idealnya diisi oleh sosok yang memahami istilah teknis serta hukum perpajakan internasional, agar efektif dalam melaksanakan tugasnya menjaga penerimaan negara. “Dirjen pajak harus menguasai teknis perpajakan, karena dia yang mengeluarkan kebijakan dan peraturan hukum serta memutuskan keberatan pajak. Pajak itu panglimanya hukum,” katanya.
Darussalam menjelaskan pemahaman teknis perpajakan yang baik bagi seorang Dirjen Pajak dapat mengurangi jumlah sengketa atau perselisihan antara otoritas pajak dengan wajib pajak di pengadilan pajak, yang pada 2013 tercatat mencapai 17 ribu kasus.
Selain itu, penguasaan atas hukum internasional dapat membuat Dirjen Pajak mampu mengejar potensi penerimaan pajak hingga keluar negeri, mengingat masih banyak perusahaan multinasional yang diduga melakukan transfer pricing. “Penerimaan PPh Badan terbesar dari perusahaan multinasional, artinya Dirjen Pajak harus menguasai ilmu perpajakan internasional, untuk menangkap perusahaan yang menempatkan dananya di tempat yang pajaknya rendah,” ujarnya.
Darussalam mengharapkan, selain menguasai administrasi perpajakan, Dirjen Pajak yang baru hasil seleksi terbuka, mampu melakukan reformasi kelembagaan termasuk aturan yang menghambat otoritas dalam mencari potensi pajak. “Dirjen Pajak harus mengubah struktur penerimaan pajak yang selama ini selalu mengandalkan PPh badan, ini tidak connect dengan international best practise. Untuk itu, harus ada pembukaan rekening bank melalui revisi UU KUP, sebagai data untuk mengejar PPh orang pribadi,” katanya.
Darussalam mengaku tidak mempermasalahkan apabila Direktorat Jenderal Pajak tidak mampu mencapai target penerimaan yang dibebankan oleh pemerintah, asalkan institusi benar-benar melakukan pembenahan dan reformasi dalam tubuh organisasi.
“Beri waktu dua tahun sebagai masa transisi untuk membenahi pondasi otoritas pajak, dalam konteks kelembagan peraturan dan administrasi. Perbaikan pondasi jauh lebih penting, karena apabila pondasi kuat, target baru bisa tercapai,” katanya.
Mardiasmo, sebagai Pelaksana tugas Dirjen Pajak Kementerian Keuangan sampai pemerintah menunjuk pejabat tetap pada Januari 2015 sendiri mengakui menjadi Dirjen Pajak di Indonesia tidaklah mudah. Tingginya target penerimaan pajak tahun depan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 sebesar Rp 1.201,7 triliun ditambah keinginan Presiden Jokowi untuk menambah target penerimaan pajak sebesar Rp 600 triliun yang akan dimasukkan dalam perubahan APBN, dinilainya merupakan tantangan yang amat berat untuk diemban seorang Dirjen Pajak.
Terlebih, keterbatasan personil Ditjen Pajak yang tidak seimbang dengan begitu banyaknya wajib pajak potensial yang harus diawasi membuat pekerjaan mencapai target tidak semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu, Mardiasmo berinisiatif untuk mencari tambahan penerimaan pajak dari profesi-profesi yang dinilai pemerintah belum optimal memberikan sumbangan ke negara. Artis, pengacara dan sejumlah profesi lain menjadi bidikan Ditjen Pajak tahun depan.
Beruntung, Presiden Jokowi tidak tutup mata untuk kemudian memutuskan tidak memberlakukan moratorium atau penghentian sementara perekrutan pegawai negeri sipil di lingkungan Ditjen Pajak. Tahun depan, Ditjen Pajak masih tetap diizinkan menambah personil guna mencapai target yang telah ditetapkan.
No comments:
Post a Comment