Sunday, January 25, 2015

Peternak Domba dan Kambing Jawa Timur Targetkan Swasembada Daging Tahun Ini

Peternak domba dan kambing Jawa Timur mentargetkan swasembada daging pada tahun ini. Untuk itu dilakukan usaha perbaikan genetika agar kualitas domba dan kambing meningkat. Jika kualitas domba dan kambing meningkat akan terbuka peluang untuk ekspor. "Kebutuhan daging domba dan kambing cukup tinggi," kata Ketua Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI) Jawa Timur Martinus Alexander, dalam musyawarah daerah HPDKI Jawa Timur di Balai Besar Pelatihan Peternakan Songgoriti Kota Batu, Ahad, 25 Januari 2015. Selain itu juga dilakukan usaha pelestarian plasma nuftah atau pembawa sifat keturunan kambing dan domba di Jawa Timur.

Usaha peternakan kambing dan domba melonjak sejak beberapa tahun terakhir lantaran perawatan yang tak terlalu rumit dan keuntungan yang cukup besar. "Sebanyak 97 persen ternak kambing dan domba dilakukan dalam skala kecil." Biasanya, beternak kambing dan domba hanya usaha sampingan selain bertani.

Selain itu, pengetahuan ilmu, teknologi dan genetika peternak terbatas peternakan. Sehingga usaha peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak rendah. HPDKI berkomitmen melakukan inovasi teknologi peternakan untuk peternak skala kecil.

Caranya dengan bekerjasama dengan pakar, pemerintah, penyuluh pertanian, peternak, dan investor. Setelah budidaya peternakan berkualitas, peternak bakal memiliki daya saing untuk tingkat nasional dan internasional. Peternakan domba dan kambing harus dilakukan mulai hulu hingga hilir. Mulai pengembangbiakan, rekording, reproduksi, nutrisi, tata kelola, kesehatan hewan, dan ekonomi produksi dan pemasaran.

Rencananya, HPDKI akan melath peternak untuk rekording domba dan kambing yang benar. Mulai pencatatan kelahiran, pentatoan telinga, pelaporan data untuk bank data populasi kambing dan domba di Jawa Timur. Pemerintah Provinsi Jawa Timur dianggap belum bisa mengendalikan harga daging sapi. Menurut Badan Pusat Statistik Jawa Timur, harga daging sapi masih konsisten naik, meski Jawa Timur menjadi daerah pemasok utama daging nasional. "Ini menunjukkan pemerintah belum bisa mengendalikan harga daging," kata Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Timur Sairi Hazbullah dalam konferensi pers, Senin, 3 Maret 2014. 

Sairi mengatakan ada beberapa kemungkinan penyebab kenaikan harga daging sapi tersebut, yakni keterbatasan persediaan atau aliran daging sapi ke luar Jawa Timur.  Berdasarkan Sensus Pertanian BPS 2013, produksi sapi menurun hingga 1 juta ekor. Pada 2011 lalu, ternak sapi mencapai 5 juta ekor. Adapun pada 2013 hanya sebanyak 3,8 juta ekor. Kalaupun ada kelahiran sapi di level peternak, tampaknya tidak serta-merta berpengaruh signifikan terhadap persediaan daging sapi.

Di sisi lain, Jawa Timur merupakan provinsi penyuplai sapi dan daging sapi terbesar nasional. Ketika kran impor daging sapi ditutup, daerah lain seperti Jawa Barat dan Jakarta otomatis memenuhi kebutuhannya dengan mengambil pasokan dari Jawa Timur. Ini membuat persediaan sapi dan daging sapi menipis. Akibatnya, harga daging sapi naik.

Sairi menyayangkan penolakan data Sensus Pertanian yang menyebutkan produksi sapi menurun di Jawa Timur. Dengan adanya kenaikan harga ini, terbukti bahwa memang ada permasalahan dalam hal produksi sapi di Jawa Timur. "Seharusnya (data) jangan ditolak. Karena dengan begitu, kita punya kesempatan untuk membuat kebijakan yang pas," kata Sairi.

Kenaikan harga daging sapi memang diakui oleh Kepala Perdagangan dan Perindustrian Jawa Timur, Budi Setiawan. "Harga daging sapi memang ada kenaikan, tapi masih dikatakan stabil," kata Budi, Senin, 3 Maret 2014.  Harga daging sapi berkualitas baik saat ini berada di kisaran Rp 92-93 ribu di seluruh daerah Jawa Timur. Di Surabaya, harga daging sapi mencapai Rp 91.940, turun dibanding pada bulan lalu yang sebesar Rp 92.020. Adapun harga daging sapi kualitas biasa berkisar Rp 83-85 ribu.

Menurut Budi, harga tersebut sebenarnya menguntungkan peternak sapi, namun merugikan di tingkat konsumen. Para konsumen masih meminta harga daging sapi di level Rp 85 ribu.  Tingginya harga, kata Budi, lebih disebabkan adanya kondisi kekurangan daging sapi secara nasional, terutama sejak impor daging nasional ditutup. Meski Jawa Timur sudah lebih dulu menerapkan kebijakan ini, mereka tetap terkena imbas psikologis.

Kebutuhan pangan nasional yang masih bergantung pada impor menyebabkan ketimpangan harga antarprovinsi. Dengan demikian, ketika impor dibatasi, provinsi lain sebagai penyuplai mengalami kenaikan permintaan yang kemudian mempengaruhi harga. "Kalau impor diserahkan di Jakarta dan Jawa Barat saja, harga (di Jawa Timur) akan otomatis turun," kata Budi.

No comments:

Post a Comment