Wednesday, January 14, 2015

Daftar Negara Yang Jadi Korban Karena Harga Minyak Dunia Terjun Bebas

Harga minyak dunia saat ini 'terjun bebas'. Sejak harga tertingginya pada Juni 2014 lalu, penurunannya hingga sekarang mencapai 50% lebih, bahkan sekarang harganya sudah di bawah US$ 50/barel. Siapa korbannya?

Di balik penurunan harga minyak ini, muncul politik dagang dunia di antara para negara penghasil minyak. Tujuannya adalah agar pangsa pasar pada produsen minyak ini bisa terjaga, karena minyak jadi tulang punggung penerimaan negara mereka.

Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar di dunia sedang memiliki rencana. "Arab Saudi penentu harga minyak," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam pertemuan bersama Pemimpin Redaksi media massa di rumah dinasnya, Widya Chandra, Jakarta, Rabu malam (14/1/2015).

Memang dalam pertemuan antar negara produsen minyak dunia, yang tergabung dalam OPEC beberapa waktu lalu, Arab Saudi menolak menahan produksi minyaknya. Penurunan produksi minyak dunia menjadi salah cara untuk menahan jatuhnya harga saat ini. Ada kepentingan Arab Saudi di sini. Bambang menuturkan, di Arab Saudi, biaya memproduksi 1 barel minyak mentah adalah yang paling murah, yaitu sekitar US$ 10-US$ 20. Sementara Iran yang juga rodusen minyak, biaya produksi 1 barel minyak mentah adalah US$ 40-US$ 50 per barel. Bayangkan, bila harga sekarang sudah di bawah US$ 50 per barel, bisa dibilang Iran rugi menjual minyaknya.

Lantas kenapa Arab Saudi tidak menahan kejatuhan harga minyak ini?

Dijelaskan Bambang, tengah terjadi perang adu harga dan adu stamina di antara negara produsen minyak dunia saat ini. Maksudnya adu stamina adalah, merelakan anggarannya tergerus, karena penurunan harga minyak akan membuat penerimaan negara jatuh. "Saudi itu perangnya (harga minyak) menghadapi multiple enemies," jelas Bambang.

(Baca : Ronald Reagen Bekerjasama Dengan Arab Saudi Untuk Jatuhkan Uni Soviet dan Menangkan Perang Dingin dan Minyak Murah Senjata Amerika Untuk Menangkan Perang Dingin dengan Uni Soviet )

Tujuan Arab Saudi membiarkan harga minyak jatuh adalah agar shale oil yang sedang booming di Amerika Serikat (AS) tidak menjadi subtitusi dari minyak yang merupakan tulang punggung penerimaan Arab Saudi . Selain AS, korban yang diincar adalah Rusia sebagai produsen minyak terbesar kedua dunia setelah Arab Saudi. "Jadi Arab Saudi tidak nyaman dengan Rusia, karena potensi cadangan minyak Rusia masih luas," ujar Bambang.

Kembali ke soal adu stamina, Bambang mengatakan, Arab Saudi yang biasanya anggarannya surplus besar, tapi di tahun ini defisit sampai sekitar Rp 400 triliun.

"Katanya defisit ini pertama kali dalam sejarah. Jadi Saudi itu rela anggarannya defisit. Namun ada yang anggarannya lebih parah, yaitu korbannya Rusia, Venezuela, dan Oman bisa kolaps bujetnya," cerita Bambang.

Untuk Rusia sendiri, saat ini ekonominya memang tengah menderita karena sanksi dari AS dan negara-negara Eropa barat. Penurunan harga minyak makin membuat
ekonomi negara ini merana. Sampai kapan harga akan terus turun? Bambang menyatakan, tidak ada yang bisa menebak ke mana harga minyak akan bergerak.

"Banyak yang memperkirakan harga minyak rendah berlangsung dalam setahun, karena adu harga dan adu stamina," kata Bambang. Untuk Indonesia juga tidak mudah, kondisi harga minyak yang terjun bebas ini membuat penerimaan negara terancam turun. Alasannya, perusahaan penambang minyak akan menahan investasinya, karena harga jatuh, sementara biaya produksinya tinggi.

Indonesia saat ini mengandalkan sumur-sumur minyak tua yang biaya produksinya tinggi. Sumur minyak muda di Indonesia hanya di Cepu saja. "Jadi sekarang banyak yang bilang tidak menguntungkan. Tidak masuk akal jual murah, investor pasti hold. Tidak usah menambang sekarang. Ini berpengaruh kepada lifting. Apalagi sumur minyak kita sudah tua semua. Jadi untuk menggenjot, harus pakai teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), dan ini membuat biaya produksi jadi makin tinggi. Jadi sulit membayangkan lifting tercapai. Lifting turun, penerimaan pasti turun," papar Bambang

Dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2015, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) mengajukan asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) di US$ 70/barel, ini sulit dicapai. "Prediksinya ada yang bilang, harga minyak tertinggi tahun ini akan terjadi di triwulan terakhir, yaitu sekitar US$ 60 per barel. Bisa saja tidak segitu," kata Bambang.

Karena itu, tidak ada jalan lain, pemerintah akan menggenjot penerimaan pajak yang ditargetkan naik tinggi, yaitu sekitar 40%, dari realisasi sekitar Rp 897 triliun tahun lalu, menjadi sekitar Rp 1.250 triliun tahun ini. Pemerintah tak mau menambah utang, karena ada risiko di pasar keuangan, dan juga risiko politik dari penambahan utang ini.

"Jadi harus ada extra-extra effort untuk pajak," kata Bambang. Pemerintah masih terus mencari sumber pemasok minyak mentah dengan harga murah, salah satunya pembelian dari Iran. "Iya hari ini saya akan ketemu Dubes Iran, masih membahas soal pembelian minyak murah," kata Menteri ESDM Sudirman Said, ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (14/1/2015).

Sudirman mengatakan, kedatangan Duta Besar Iran untuk Indonesia Muhmaoud Farazandeh ini juga akan membicarakan kedatangan Menteri Energi Iran, Hamid Chitchian ke Indonesia, untuk membicarkan kelanjutan pembelian minyak murah tersebut.

"Kita nanti bicara soal rencana kedatangan Menteri Energi Iran ke Indonesia, ke ESDM juga, bicara pembelian minyak, itu terus kita jajaki," kata Sudirman. Pemerintah terus mencari pemasok minyak murah, sebelumnya ada rencana pembelian dari Anggola hingga Rusia. "Pembelian minyak murah ini tujuannya agar kita tidak ketergantungan pada satu sumber pemasok saja," tutupnya.

Hari-hari di mana harga minyak dunia menyentuh US$ 100 per barel mungkin telah tiada. Setidaknya itu yang dipercaya oleh Pangeran Arab Saudi, Alwaleed bin Talal.  Kemarin, harga minyak dunia menyentuh harga US$ 45 per barel, titik terendahnya dalam 6 tahun terakhir alias 2009 lalu. Miliuner asal Timur Tengah itu yakin harga emas tidak akan pernah melampaui batas US$ 100 per barel lagi.

"Permintaan rendah, tapi pasokan melimpah. Keduanya adalah resep yang pas untuk menghancurkan harga minyak. Itulah yang terjadi, tak diragukan lagi," katanya kepada USA Today seperti dikutip CNN, Rabu (14/1/2015). Hal tersebut juga damini oleh Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali al-Naimi. Sang menteri menyatakan harga minyak US$ 100 per barel adalah hal yang terjadi di masa lalu.

Jika hal itu terbukti benar, maka harga bahan bakar minyak (BBM) bisa tetap bertahan di titik murah seperti sekarang ini.  Pertama kali harga minyak tembus US$ 100 per barel pada 2008 lalu, tak lama setelah krisis ekonomi global. Tingginya permintaan dari Tiongkok dan India memunculkan prediksi harga minyak bisa menembus US$ 200 per barel.

Tak lama setelah itu harga minyak anjlok hingga ke level US$ 34 per barel setelah masa krisis. Namun dalam tiga tahun terakhir harga minyak berhasil rebound dan diperdagangkan di kisaran US$ 90-110 per barel. "Sisi positif dari jatuhnya harga minyak ini adalah Arab Saudi bisa melihat berapa banyak produsen minyak yang akan bangkrut," katanya.

Sampai sekarang ini memang sudah banyak perusahaan minyak dunia yang mengurangi bahkan menghentikan produksi minyaknya sementara waktu. Alwaleed memprediksi harga minyak pasti naik lagi, hanya saja tak mungkin menembus US$ 100 per barel.

No comments:

Post a Comment