Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, pembangunan pertanian yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo tidak jauh berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Salah satu indikasinya, kata dia, pemerintah masih melihat petani sebagai pihak tak berdaya yang harus didampingi secara top-down, sehingga sampai-sampai penyuluh pertanian pun harus melibatkan Babinsa.
Padahal, menurut dia, kemampuan Babinsa tidak lebih baik dibanding para petani. Andreas menyayangkan, konsep penyuluh swakarsa yang telah disusun bersama pokja pangan tim transisi tidak diambil pemerintah. Menurut Andreas, konsep tersebut telah disampaikan pokja kepada Presiden, lalu Presiden menyampaikan ke Bappenas dan para menteri. “Tapi saya tidak tahu berkembangannya, sampai akhirnya memilih melibatkan Babinsa,”kata Andreas, Jumat (16/1/2015).
Pada bagian lain, Andreas menyebut, target-target yang dipatok pemerintah terlalu bombastis. Dia berpesan misi kedaulatan pangan janganlah terpaku pada peningkatan produksi. Namun, peningkatan kesejahteraan petani. “Kalau kesejahteraan petani naik, produksi ini akan mengikuti. Kalau orientasinya produksi, saya yakin gagal,” kata dia lagi.
Jika berorientasi pada peningkatan produksi, dia khawatir pemerintah bakal melakukan segala macam cara termasuk mengundang para pengusaha besar. Menurut Andreas, land reform seharusnya diperuntukkan atau diserahkan ke petani kecil. “BKPM mengundang pengusaha besar (masuk pertanian), kalau pembangunan seperti itu yang terjadi justru kesenjangan semakin besar. Ingat, pendapatan petani itu Rp 1,3 juta per bulan per keluarga. Sebanyak 63 persen orang miskin adalah petani. Sehingga, ini memerlukan kebijakan struktural yang tepat,” jelas dia.
Meski banyak program pertanian yang dinilainya melenceng dari konsep yang disusun bersama tim transisi, Andreas mengakui ada juga yang sejalan. “Hanya satu program yang sesuai, yaitu pembangunan irigasi. Jadi pembangunan pertanian belum ada terobosan. Kecuali irigasi tidak ada bedanya. Di lainnya malah memburuk,” kata Andreas.
Kemarin, Kamis (15/1/2015) Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, ada lima hal yang menentukan tercapainya swasembada pertanian, yakni irigasi, benih, pupuk, alat mesin pertanian (alsintan), serta penyuluh pertanian.
Kondisi pertanian di Indonesia sudah banyak mengalami perubahan. Jika dulu pada awal tahun 1960-an para petani belum mengenal panca usaha tani. Kini, kondisi para petani sudah jauh lebih pandai. Ahli pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menjelaskan, pada 1960-an umumnya para petani menggunakan benih lokal, pupuk kandang, dan bahkan beberapa malah tidak dipupuk, lantaran tanahnya masih subur.
Namun, selanjutnya, pertanian di Indonesia berubah pada masa Orde Baru. Para petani banyak menggunakan benih jenis tertentu, perstisida, dan sebagainya yang diatur oleh pemerintah. Hasilnya, Indonesia mencapai swasembada pada 1984. Sayangnya, capaian ini harus dibayar dengan resiko ekologis yang besar.
“Petani kini sudah luar biasa pandai. Petani kita ini memiliki kapasitas terkait teknologi budidaya, benih unggul sendiri, menangkarkan sendiri, pupuk organik sendiri, dan sistem pengendalian hama terpadu,” kata Andreas, Jumat (16/1/2015).
Andreas lebih lanjut mengatakan, ketika kondisinya berbeda dari berpuluh-puluh tahun lalu, maka sistem penyuluhan tidak bisa lagi menjadi pola lama. Sebagai pengingat, kata Andreas, pada waktu itu masa Orde Baru, sangat kental sekali program ABRI masuk desa. Andreas khawatir, jika hal ini kembali dilakukan di masa Joko Widodo, yakni dengan keterlibatan Babinsa, maka hasilnya akan sama dengan yang dilakukan pada masa Orde Baru.
“Hasilnya sudah jelas, tidak berhasil, yakinlah,” ucap Andreas. Lebih lanjut dia pesimistis dengan kapabilitas babinsa untuk menjadi penyuluh pertanian. Sebab, selama 10 tahun terakhir ini saja penyuluh pertanian yang berasal dari insinyur pertanian telah gagal mewujudkan swasembada. “Apalagi Babinsa yang tidak ada kemampuan, swasembada? Non sense,” ucap dia.
Andreas mengatakan, selama 10 tahun terakhir impor komoditas pertanian pangan meningkat 346 persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2003 impor pangan tercatat 3,34 miliar dollar AS, sedangkan pada 2013 impor pangan mencapai 14,90 miliar dollar AS, atau hampir tumbuh 4 kali lipat.
Di sisi lain, BPS juga melaporkan, kontribusi pertanian dalam PDB (Pendapatan Domestik Bruto) terus turun yaitu dari 15,19 persen terhadap PDB pada 2003, menjadi hanya 14,43 persen terhadap PDB pada 2013.
Serikat Petani Indonesia (SPI) mengapresiasi niat baik pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo melibatkan hampir 50.000 Babinsa "masuk sawah" demi mencapai swasembada pangan. Namun, SPI meminta pemerintah untuk lebih spesifik terkait fungsi kerja Babinsa tersebut di pertanian. "Niatnya sudah bagus, tapi menurut kita (SPI) perlu lebih spesifik apa tugas 50.000 Babinsa itu," ujar Ketua Umum SPI Hendry Saragih saat dihubungi Jakarta, Jumat (16/1/2015).
Menurut dia, semua stakeholader baik pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat yang terlibat langsung maupun tak langsung memiliki tanggung jawab atas pangan nasional. Tetapi harus tetap sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
Pengerahan 50.000 Babinsa sebagai penyuluh pertanian, menurut Henry harus dilakukan secara proporsional. Pasalnya, tidak semua Babinsa memiliki pengetahuan yang baik dalam sektor pertanian. Sebenarnya kata Henry, apabila mengacu pada tugas dan fungsi, TNI AD kata dia bisa juga terlibat dalam sektor pertanian di luar produksi. Bagi dia, masalah krusial pertanian saat ini justru ada pada tahap distribusi.
"Yang lebih penting misalnya masuknya hasil pertanian impor yang ilegal, lalu praktik penimbunan pangan, dan manipulasi produk pertanian. Jadi bisa disitu," kata dia. Dia mencontohkan, para tentara di Venezuela membantu pertanian dengan melakukan penjagaan ketat diperbatasan negara tersebut. Hal itu dilakukan untuk mencegah masuknya hasil pangan ilegal ke Venezuela.
Sementara itu di dalam negeri, tugas TNI AD juga bisa membantu Kepolisian untuk mencegah atau menindak para pelaku penyelundup pupuk subsidi ke luar negeri. "Itu yang lebih mendesak saat ini karena faktor krusial pertanian sekarang ada di distribusinya," ucap Henry. Sebelumnya, personel Babinsa TNI Angkatan Darat (AD) mendapatkan tugas baru untum turun ke sawah. Mereka dikerahkan membantu sosialisasi bidang pertanian kepada kelompok tani. Hal tersebut dilakukan untuk membantu mewujudkan ketahanan pangan 2018 mendatang.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD Kolonel Wuryanto mengatakan, TNI AD bekerja sama dengan Kementerian Pertanian telah menandatangani nota kesepahaman pada 7 Januari 2015 lalu. Melalui MoU itu, sekitar 50.000 personel Babinsa di Indonesia digerakkan membantu kelompok tani.
"Kerja sama meliputi penyuluhan pertanian, pendistribusian bibir, pupuk hingga peralatan pertanian. Selain itu membantu perbaikan wadukatau irigasi. Pokoknya Babinsa masuk ke sawah, kini," ujar Wuryanto saat dihubungi pada Kamis (15/1/2015) malam.
Pasca-penandatanganan MoU, Panglima Kodam di seluruh Indonesia akan melanjutkannya dengan kesepakatan bersama Kepala Dinas Pertanian di tingkat provinsi. Pangdam juga menggelar pendidikan dan pelatihan pertanian bagi para Babinsanya. Kemudian, para Babinsa berbaur dengan kelompok tani untuk pendampingan aktivitas pertanian.
No comments:
Post a Comment