Tuesday, February 3, 2015

Kerugian Karena Pelanggaran Hak Cipta Di Indonesia Adalah Rp 3 Triliun per Tahun

Punggawa grup musik KLa Project, Adi Adrian, mengatakan potensi kerugian yang harus ditanggung musikus karena tidak adanya aturan soal hak cipta sangat luar biasa. Salah satu kerugian terbesar, ujar Adi, berasal dariperforming right alias hak menggunakan yang sangat jarang dibayarkan kepada pencipta lagu di Indonesia.

"Setiap tahun, potensi kerugian bisa mencapai Rp 3 triliun," ujar Adi saat ditemui pada acara pelantikan komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) di Kementerian Hukum dan HAM, Selasa, 20 Januari 2015.

Hitung-hitungan itu didapat Adi dengan membandingkan omzetperforming right dalam industri musik global. Industri musik global, kata Adi, mendapat omzet sekitar US$ 17 miliar tiap tahunnya. Dari jumlah itu, sebesar 30 persen alias US$ 6 miliar merupakan performing right yang dibayarkan kepada pencipta lagu. Bila dianalogikan, dengan penduduk dunia sebanyak 6 miliar orang, seharusnya setiap orang membayar US$ 1 per tahun untuk performing right.

Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia mencapai 250 juta orang. "Artinya, omzet performing right di Indonesia harusnya bisa mencapai US$ 250 juta per tahun atau sekitar Rp 3 triliun. Tapi, selama ini, nilainya selalu di bawah Rp 10 miliar," ujar pencipta lagu Yogyakarta tersebut.

Adi berharap, dengan adanya LMKN, kewajiban pengguna membayar performing right semakin ditegakkan. Tempat usaha seperti karaoke atau restoran harus membayar royalti setiap kali memutar lagu untuk kepentingan komersial. Setoran itu akan dibayarkan pada LMKN untuk kemudian diserahkan kepada pencipta lagu.

Bila tidak, kata Adi, pencipta lagu di Indonesia akan semakin sengsara. Ujung-ujungnya, tidak ada lagi yang ingin menciptakan lagu. "Kalau di luar negeri itu, pencipta lagu bisa kaya, karena sekali membuat lagu, royalti terus berdatangan," ujar Adi.

Adi menjadi satu dari sepuluh orang yang lolos seleksi menjadi komisioner LMKN. Selain Adi, musikus lain yang menjadi komisioner adalah Rhoma Irama, James F. Sundah (pencipta laguLilin-lilin Kecil), Slamet Adriyadie (pencipta lagu Widuri), Sam Bimbo, dan Ebiet G. Ade. Para akademikus turut menjadi komisioner, yakni Imam Haryanto, Djanuar Ishak, Miranda Risang Ayu, dan Handi Santoso.

Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham Ahmad Ramli menyebut pendapatan negara dari sektor musik setiap tahunnya mencapai Rp 5 triliun. Dari jumlah itu, hanya sedikit sekali yang menjadi hak para pencipta lagu. LKMN, tutur Ramli, akan memastikan para pengguna menyetor royalti kepada pemegang hak cipta.

"Kalau LMKN bisa memungut 5 persen saja dari total pendapatan di industri musik, para pencipta lagu bisa sejahtera," ujar Ramli. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Selasa siang, 20 Januari 2015, akan melantik komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional di kantor Kementerian Hukum dan HAM. Seperti dilansir Bagian Pers Kementerian Hukum dan HAM, sejumlah musikus kondang, seperti raja dangdut Rhoma Irama, Ebiet G. Ade, James F. Sondakh, dan Adi KLa Project, akan dilantik menjadi komisioner lembaga ini.

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang nantinya diisi sepuluh komisioner: lima untuk hak cipta dan lima untuk hak terkait. Lembaga ini berfungsi mengkoordinasikan dan mengawasi pengumpulan royalti oleh lembaga manajemen kolektif di bawahnya. Nantinya, tempat-tempat umum atau kegiatan yang menggunakan musik, seperti kafe, tempat karaoke, dan pentas seni, harus membayar royalti yang diatur oleh lembaga ini.

Selain dari kalangan musikus dan pencipta lagu, ada empat unsur lain yang dipilih menjadi komisioner lembaga tersebut, yakni akademikus yang menekuni hak kekayaan intelektual (HKI), advokat yang memang bergerak di bidang HKI, wakil masyarakat, dan birokrat. Lembaga ini diharapkan bisa menghimpun, mengelola, dan menyalurkan royalti kepada para pencipta serta pemilik hak terkait. Dengan dibentuknya lembaga itu, diharapkan hak-hak pencipta, terutama hak ekonomi, bisa diperoleh dengan layak.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly melantik Rhoma Irama dan Ebiet G. Ade sebagai komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dua artis yang menjadi anggota komisi ini akan mengemban tugas menetapkan sistem pembayaran royalti hak cipta lagu dan musik.

Selain Rhoma dan Ebiet, beberapa pencipta lagu kondang lain juga turut dilantik menjadi komisioner. Mereka adalah James F. Sundah, Adi Adrian ”KLA Project”, dan Samsudin Hardjakusumah alias Sam Bimbo. ”Lembaga ini dibentuk untuk melindungi hak cipta sehingga dapat mendorong makin banyak orang untuk mencipta,” kata Menteri Yasonna saat pelantikan di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa, 20 Januari 2015. ”Industri kreatif harus jadi industri andalan.”

Keberadaan LMKN terbagi atas dua yakni LMKN Pencipta dan LMKN Hak Terkait. Masing-masing lembaga terdiri dari lima komisioner. Para komisioner ini telah diseleksi dari 48 orang yang mendaftar, terdiri dari pencipta lagu, produser, hingga akademisi.

Menurut Rhoma, industri ekonomi kreatif selama ini selalu menderita karena tidak ada insentif yang cukup bagi para pencipta lagu. Dia berharap, adanya lembaga ini, industri musik akan bangkit dan menambah devisa negara di sektor nonmigas. Artis yang digelari raja dangdut ini juga menyayangkan kurangnya sinergi dengan aparat hukum sehingga pembajakan berkembang luas. ”Selama ini pelanggaran itu selalu untouchable,” ujar dia

Adapun Ebiet mengatakan, tugas seorang komisioner tidaklah mudah karena harus menjadi jembatan antara pencipta lagu dan pengguna. Langkah pertama para komisioner, kata Ebiet, merumuskan strategi untuk mengatur interaksi antara pencipta lagu dan pengguna. ”Nantinya para pengguna dapat secara sukarela menyetor pembayaran royalti yang menjadi hak pencipta,” ujar pencipta dan pelantun lagu Titip Rindu Buat Ayah ini.

No comments:

Post a Comment