Mintarsih Abdul Latief, penggugat merek “Blue Bird” dan logo “Burung Biru” memastikan logo awal perusahaan yang pertama kali digunakan PT Blue Bird Taxi sejak tahun 1971 bisa dilihat di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah.
Menurut Direktur Utama PT Gamya Taksi Group itu, dengan melihat langsung logo “Burung Biru” di museum transportasi maka masyarakat bisa menilai apakah gugatan yang diajukannya kepada Purnomo Prawiro, Direktur Utama PT Blue Bird Tbk (BIRD) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masuk akal atau tidak.
Sebab Mintarsih berpendapat, praktis sama sekali tidak ada perbedaan antara logo “Burung Biru” yang digunakan pertama kali oleh PT Blue Bird Taxi dengan logo PT Blue Bird Tbk saat ini. “Perbedaannya hanya ada di ujungnya, ada sedikit siluet yang diubah. Tapi secara kasat mata bisa dipastikan logo itu sama dengan yang kami gunakan dulu saat pertama kali mendirikan PT Blue Bird Taxi,” kata Mintarsih, Jumat (30/1).
Situs resmi Taman Mini Indonesia Indah menyebutkan bahwa museum transportasi adalah museum milik Kementerian Perhubungan yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan bukti sejarah dan perkembangan transportasi, serta perannya dalam pembangunan nasional. Museum ini berdiri di atas lahan seluas 6,25 hektare dengan pemancangan tiang pertama dilakukan oleh Tien Soeharto pada tanggal 14 Februari 1984, sedangkan pembangunannya dimulai pada 1985 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 April 1991.
“Sayangnya desainer logo tersebut sudah meninggal, jadi tidak bisa saya ajukan sebagai saksi. Tapi sebelum PT Blue Bird Tbk berdiri pada 2001 dan menggunakan logo tersebut, kami sudah menggunakannya di dua dokumentasi yaitu buku ‘Sang Burung Biru’ dan majalah perusahaan ‘Mutiara Biru’,” kata Mintarsih yang juga kakak kandung Purnomo Prawiro.
Sebelumnya, melalui keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, Purnomo melaporkan bahwa Mintarsih telah mendaftarkan gugatan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 Januari 2015. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 01/Pdt.Sus-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst dan dalam gugatannya Mintarsih meminta para tergugat termasuk dirinya untuk membatalkan logo “Burung Biru” dan merek “Blue Bird” yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.
“Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Niaga untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai pertama serta pemegang hak merek Blue Bird Taxi dengan logo Burung Biru,” ujar Purnomo dalam keterbukaan informasi dikutip Jumat (30/1).
Dia melanjutkan, atas dasar itulah penggugat meminta pengadilan membatalkan dan menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum, merek Blue Bird dengan logo Burung Biru yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM tersebut. “Para tergugat juga diminta membayar ganti rugi atas kerugian materil sebesar Rp 5,65 triliun dan kerugian immaterial Rp 1 triliun,” kata Purnomo.
Mintarsih Abdul Latief, penggugat merek “Blue Bird” dan logo “Burung Biru” menjelaskan alasan dirinya menggugat Purnomo Prawiro, Direktur Utama PT Blue Bird Tbk (BIRD) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mintarsih yang juga Direktur Utama PT Gamya Taksi Group menjelaskan logo dan merek yang digunakan taksi Blue Bird saat ini merupakan logo dan merek yang sama ketika dirinya, Purnomo, dan Chandra Suharto mendirikan CV Lestiani sebagai pemegang saham utama PT Blue Bird Taxi pada tahun 1971.
“Pada kelanjutannya tahun 2001, Purnomo dan Chandra membentuk PT Blue Bird tanpa ada kata Taxi didalamnya. Namun sampai sekarang semua logo dan merek yang digunakan perusahaan tersebut sama dengan yang digunakan PT Blue Bird Taxi. Bahkan karyawan dan gedung yang digunakan awalnya adalah milik PT Blue Bird Taxi. Jadi saya gugat,” kata Mintarsih ketika dihubungi, Jumat (30/1).
Mintarsih menilai dirinya sama sekali tidak pernah melepas kepemilikan di PT Blue Bird Taxi, sehingga menurutnya pendirian PT Blue Bird merupakan perusahaan dalam perusahaan yang didirikan Purnomo tanpa persetujuan dirinya selaku pemegang saham awal. “Bahkan saat mereka jadi perusahaan terbuka dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia, saya sama sekali tidak dilibatkan dalam pembicaraan rencana tersebut. Purnomo hanya mengajak anak-anaknya dan para pemegang saham PT Blue Bird saja,” kata Mintarsih.
PT Blue Bird Tbk (BIRD) sendiri pada Rabu, 5 November 2014 tercatat secara resmi sebagai emiten ke-19 yang melantai di bursa. Dengan melepas saham ke publik (initial public offering/IPO) sebanyak 376,5 juta saham senilai Rp 6.500 per saham, Blue Bird mengantongi dana Rp 2,4 triliun yang akan digunakan untuk mendanai ekspansi perusahaan. “Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Niaga untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai pertama serta pemegang hak merek Blue Bird Taxi dengan logo Burung Biru,” ujar Purnomo dalam keterbukaan informasi dikutip Jumat (30/1).
Dia melanjutkan, atas dasar itulah penggugat meminta pengadilan membatalkan dan menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum, merek Blue Bird dengan logo Burung Biru yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM tersebut. “Para tergugat juga diminta membayar ganti rugi atas kerugian materil sebesar Rp 5,65 triliun dan kerugian immaterial Rp 1 triliun,” kata Purnomo.
Perseteruan antara Mintarsih Abdul Latief selaku Direktur Utama PT Gamya Taksi Group dengan Purnomo Prawiro sebagai Direktur Utama PT Blue Bird Tbk (BIRD) kembali berlanjut. Kali ini Mintarsih meminta Purnomo dan seluruh anak usaha yang tergabung dalam Blue Bird Group untuk tidak lagi menggunakan logo “Burung Biru” dan merek “Blue Bird” sekaligus meminta pembayaran ganti rugi sebesar Rp 6,65 triliun.
Melalui keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, Purnomo melaporkan bahwa Mintarsih telah mendaftarkan gugatan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 Januari 2015. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 01/Pdt.Sus-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst dan dalam gugatannya Mintarsih meminta para tergugat termasuk dirinya untuk membatalkan logo “Burung Biru” dan merek “Blue Bird” yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.
“Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Niaga untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai pertama serta pemegang hak merek Blue Bird Taxi dengan logo Burung Biru,” ujar Purnomo dalam keterbukaan informasi dikutip Jumat (30/1).
Dia melanjutkan, atas dasar itulah penggugat meminta pengadilan membatalkan dan menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum, merek Blue Bird dengan logo Burung Biru yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM tersebut. “Para tergugat juga diminta membayar ganti rugi atas kerugian materil sebesar Rp 5,65 triliun dan kerugian immaterial Rp 1 triliun,” kata Purnomo. Belum diperoleh keterangan resmi dari Mintarsih Abdul Latief terkait gugatan yang diajukannya tersebut. Panggilan telepon tidak diresponse Mintarsih yang juga merupakan anggota keluarga Purnomo Prawiro tersebut.
Mintarsih Abdul Latief, Direktur Utama PT Gamya Taksi Group yang menggugat merek “Blue Bird” dan logo “Burung Biru” yang digunakan PT Blue Bird Tbk (BIRD) mengaku nominal gugatan sebesar Rp 6,65 triliun merupakan nilai yang wajar. Dalam gugatan nomor 01/Pdt.Sus-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst yang didaftarkannya ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut Mintarsih menggugat Purnomo Prawiro, Direktur Utama PT Blue Bird Tbk dan beberapa pihak lainnya untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp 5,65 triliun dan kerugian immateril Rp 1 triliun.
“Bayangkan sejak 1992 Blue Bird sudah punya gedung di Jalan Mampang Prapatan Nomor 60 yang jadi kantor pusat Purnomo sekarang. Itu nilainya sekarang berapa? Lalu harta perusahaan lain seperti order taksi, pengemudi dan karyawan, nomor telepon, sampai logo yang menjadi simbol besar Blue Bird terus mereka pakai, saya dapat apa?,” kata Mintarsih, Jumat (30/1).
Menurut kakak kandung Purnomo Prawiro tersebut, sejak 1993 adiknya secara sepihak sudah tidak mengizinkan dirinya untuk mengelola lagi perusahaan taksi yang awalnya dirintis oleh enam orang dari dua keluarga berbeda tersebut. “Jadi kalau seluruh aset perusahaan perintis yang dibentuk bersama yaitu PT Blue Bird Taxi terus digunakan oleh PT Blue Bird Tbk, saya menilai kekayaan PT Blue Bird Tbk itu juga adalah milik perusahaan perintis di mana saya merupakan salah satu pemegang sahamnya,” ujarnya.
Mintarsih mengaku masih menjadi pemilik sah 21 persen saham di perusahaan awal yang menjadi cikal bakal PT Blue Bird Tbk sekarang. Sebab menurut Mintarsih, dirinya tidak pernah melepas atau menjual saham tersebut kepada pihak manapun. Belum berhasil didapatkan komentar dari management PT Blue Bird Tbk. Noni Sri Ayati Purnomo, Komisaris perusahaan yang juga Vice President Business Development Blue Bird Group tidak meresponse panggilan telepon dan pesan singkat yang dikirimkan.
Sementara itu Manajer Humas PT Blue Bird Tbk Teguh Wijayanto enggan berkomentar banyak. “Keterbukaan informasi yang kami sampaikan ke Bursa Efek Indonesia itu saja dulu informasi terakhir dari kami. Nanti kalau ada perkembangan lebih lanjut pasti kami informasikan,” ujar Teguh melalui sambungan telepon.
No comments:
Post a Comment