Thursday, April 9, 2015

Era Kerahasiaan Bank Terhadap Dirjen Pajak Akan Berakhir Tahun 2018

Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, Darussalam mengatakan pembukaan akses rekening bank menjadi isu yang belakangan hangat diperbincangkan.  Kendati Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor PER-01/PJ/2015 tentang Penyerahan Bukti Potong Pajak atas Bunga Deposito, dibatalkan, namun pada 2018 mendatang era kerahasiaan bank untuk kepentingan pajak dipastikan berakhir.

Darussalam menjelaskan, pada 2013 negara-negara anggota G20 dan OECD dimana Indonesia termasuk di dalamnya telah berkomitmen untuk saling bertukar informasi untuk kepentingan pajak, termasuk informasi dari perbankan.  "Artinya ke depan, informasi bank itu akan dibuka secara otomatis. Pada 2018 akan berakhir era kerahasiaan bank untuk kepentingan pajak," kata dia ditemuid dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Kamis (9/4/2015).

Darussalam menuturkan, ketika nanti pemerintah Indonesia ingin mencari tahu berapa penghasilan orang Indonesia yang ada di bank Singapura, maka perbankan Singapura pun mensyaratkan hal yang sama, yakni keterbukaan informasi.

Yang menjadi masalah, kata dia, saat ini perbankan di Indonesia tidak bisa membuka informasi rekening nasabah kecuali untuk pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan pajak. Padahal, berdasarkan sebuah laporan suvei, saat ini sudah ada 13 dari 37 negara yang memberikan informasi secara otomatis kepada otoritas pajak tanpa diminta.

Darussalam berharap Indonesia segera menyusul mengambil kebijakan agar keterbukaan akses informasi perbankan untuk kepentingan pajak agar lebih mudah diakses. Sebab, langkah ini menjadi salah satu cara untuk menekan kebocoran, yang berupa pengalihan dari aset yang disembunyikan di luar negeri.  “Dari satu penelitian yang dilakuan Global Integrity Financial ada dana hampir Rp 2.000 triliun yang ditempatkan di negara-negara di luar Indonesia, di negara-negara tax haven,” pungkas Darussalam.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Fuad Rahmany berharap Undang-Undang Kerahasiaan Bank segera menemui titik temu sehingga bisa membantu Ditjen Pajak dalam memburu para wajib pajak, yang akhirnya meningkatan penerimaan negara.

"Sudah saya kasih tahu Pak Muliaman (Ketua Dewan Komisioner OJK). Itu kan masalahnya di UU. Kan bukan Pak Muliaman yang menentukan. Dan saya sudah kasih tahu orang DPR, tapi saya belum diundang DPR," kata Fuad saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (11/3/2014).

Fuad optimistis langkah Ditjen Pajak tersebut bakal didukung oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ia mengatakan, jika di negara lain rekening bank bisa dibukakan untuk kepentingan pajak bisa, kenapa di Indonesia tidak. "Indonesia ini satu-satunya negara yang kerahasiaan bank ditutup buat pajak," ujarnya. Ia mencontohkan, benchmark dunia, seperti Amerika Serikat, Perancis, Eropa, Inggris, bahkan Belanda, saja membuka rekening bank mereka untuk kepentingan pajak.

Sebelumnya, Fuad pernah memaparkan, potensi penerimaan pajak dari pribadi perseorangan yang belum digali mencapai Rp 150 triliun per tahun. Terbukanya rekening bank membantu Ditjen Pajak menguber potensi ini. ”Ada 40 juta warga telah mampu membayar pajak, tetapi belum membayar. Potensinya diperkirakan minimal Rp 150 triliun,” ujar Fuad.

”Kendalanya, kita sulit memperoleh data pribadi karena sistem data nasional kita lemah. Sementara data paling valid adalah rekening bank. Cuma kerahasiaan bank itu yang menjadi hambatan. Sementara di negara lain sudah dibuka,” katanya. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan, setiap bank mempunyai kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Pengecualian hanya berlaku untuk pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan. Saat ini, undang-undang tersebut dalam proses amandemen. Inisiatifnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Direktorat Jenderal Pajak, ujar Fuad, menginginkan agar aksesnya diperluas untuk kepentingan pengawasan dan penggalian potensi pajak.

Strategi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengejar setoran pajak lewat Peraturan Nomor PER-01/PJ/2015 tentang pemotongan pajak deposito, mulai menuai polemik. Dalam beleid 26 Januari 2015 itu, Ditjen Pajak mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. Misal, nasabah pemilik deposito 100 deposan, maka yang wajib dilaporkan harus 100 deposan.

Selama ini, perbankan memberikan data bukti potong PPh deposito dan tabungan tidak menyertakan bukti potong setiap nasabah. Nah, dengan formulir yang lebih rinci, petugas pajak bisa mengetahui jumlah deposan. Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mulya E. Siregar mengungkapkan, pemberlakuan aturan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Perbankan, termasuk pelanggaran kerahasiaan bank dan juga kerahasiaan nasabah. Sebab, kata Mulya, UU Perbankan mengamanatkan untuk merahasiakan data nasabah terkait dana pihak ketiga.

Ini artinya, bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabah, tidak boleh dibocorkan dan harus dirahasiakan. "Undang-Undang Perbankan yang mengamanatkan hal itu. Data nasabah jelas tidak boleh dibocorkan atau diminta secara langsung. Data nasabah hanya boleh diminta jika ada permasalahan pengemplangan pajak. Jadi ada kasus menyangkut nasabah dulu, baru perbankan bisa memberikan data nasabah untuk penyelesaian permasalahan," jelas Mulya di Jakarta, Selasa (17/2/2015).

Mulya mengatakan, data nasabah atau data pemegang dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang tidak terkait dengan kasus pengemplangan pajak, tidak boleh diminta dan harus dirahasiakan. Sebab, jika bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabah diserahkan, maka, pihak-pihak lain dapat mengkalkukasi dan akhirnya bisa mengetahui jumlah total DPK yang ada di bank tersebut.

"Bukti potong pajak sekian dikalikan dengan persentase pajak sekian, maka hitung-hitungan itu akan ketahuan jumlah totalnya. Padahal itu yang harus dijaga. Kalau begitu nanti, maka rahasia bank dan rahasia nasabah bisa terbuka," ucapnya. Meski begitu, Mulya menjelaskan bahwa OJK sebagai otoritas lembaga keuangan mendukung penerapan aturan tersebut. Namun yang harus digarisbawahi, kata Mulya, adalah kemungkinan ada tidaknya pelanggaran kerahasiaan bank termasuk pelanggaran kerahasiaan nasabah.

"Kami mendukung sekali supaya bisa sinkron misalnya. Cuma saja, jangan sampai ada pelanggaran kerahasiaan bank dan kerahasiaan nasabah," kata Mulya

No comments:

Post a Comment