Pemerintah akhirnya mengambil keputusan bahwa iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebesar 8 persen. Iuran ini akan ditanggung pengusaha sebesar 5 persen dan pekerja 3 persen. Pelaksanaan iuran itu akan berlaku serentak mulai 1 Juli 2015. Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan, keputusan tersebut diambil dalam Rapat Koordinasi di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Rabu, (8/5/2015) lalu.
Keputusan ini selanjutnya akan dituangkan dalam draf rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan dibawa ke Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia (HAM) untuk dijadikan aturan resmi. Berdasarkan rancangan RPP Jaminan Pensiun yang didapat Kontan, masa iuran untuk mendapatkan manfaat atas program ini minimal 15 tahun. Dana pensiun akan diberikan saat usia pekerja 56 tahun. Selain itu, aturan ini hanya berlaku bagi peserta jaminan pensiun yang bekerja di perusahaan swasta, bukan di lembaga negara.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G. Masassya menambahkan, besaran iuran 8 pensiun dihitung dari gaji yang diterima pegawai. Targetnya, tahun 2018, jumlah pekerja formal yang ikut dalam BPJS Ketenagakerjaan mencapai 80 persen. Sementara untuk pekerja informal setidaknya ditargetkan sebanyak 5 persen.
Menurut Elvyn, saat ini, rancangan PP Jaminan Pensiun masuk tahap finalisasi. “Diharapkan semua pihak menerima besaran iuran 8 persen itu agar per 1 Juli 2015 langsung berlaku,” tandas Elvyn. Hanif juga mengklaim, RPP Program Jaminan Pensiun sudah melibatkan pemerintah, pengusaha serta serikat pekerja. "Kami berharap, aturan ini segera selesai agar dapat memberikan kepastian hukum," tegas Hanif.
Meski pemerintah mengaku telah bersepakat, pengusaha dan buruh rupanya masih juga belum juga puas dengan keputusan tersebut. Pengusaha mengaku keberatan dengan bila harus membayar 5 persen dari kewajiban iuran 8 persen itu. Iuran sebesar itu akan membebani pengusaha. "Seharusnya, iuran jaminan pensiun dipotong langsung dari gaji pekerja, tanpa melibatkan pengusaha," ujar Sarman Simanjorang, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta.
Keberatan juga disampaikan Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Said bilang, buruh menolak besaran iuran jaminan pensiun 8 persen. "Dengan tren kenaikan harga dan jasa yang terus melambung tinggi luar biasa, besaran iuran itu tidak masuk akal," kata Said.
Kalkulasi Said, bila saat ini buruh berusia 30 tahun dan menerima gaji rata-rata Rp 3 juta per bulan serta dengan kenaikan gaji maksimal 10 persen per tahun, maka saat mendekati usia pensiun gaji para buruh cuma bertambah jadi sekitar Rp 7,5 juta saja.
Bila benefit yang didapatkan buruh ketika pensiun hanya sebesar 20 persen dari gaji terakhir seperti ketentuan BPJS Ketenagakerjaan, maka pada saat pensiun, seorang buruh cuma mendapatkan dana pensiun Rp 1,5 juta sebulan. Makanya, Said minta iuran pensiun sebesar 12 persen dengan perinciannya sebesar 9 persen dibayar pengusaha dan 3 persen dibayar oleh pekerja. Selain itu, benefit atas dana pensiun dinaikkan menjadi 50 persen-60 persen dari gaji terakhir yang diterima para pekerja
Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur soal teknis jaminan pensiun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan hingga kini belum tuntas. Namun, sembari menunggu penerapan jaminan pensiun yang tinggal hitungan bulan, yakni mulai 1 Juli 2015 mendatang, BPJS Ketenagakerjaan semakin mantap mempersiapkan diri.
Saat ini, badan publik penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja tersebut tengah menyiapkan sistem pendaftaran online terintegrasi lewat Sistem Informasi Pelayanan Peserta (SIPP). Target utamanya adalah peserta badan usaha yang sebelumnya sudah terdaftar dalam jaminan sosial tenaga kerja, seperti jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua.
"Jadi, SIPP ini nanti bisa langsung menghubungkan data peserta badan usaha secara online. Mereka yang sudah terdaftar, tinggal melengkapi program dengan jaminan pensiun. Datanya sama," ujar Junaedi, Direktur BPJS Ketenagakerjaan kepada Kontan, Rabu (4/3/2015).
BPJS Ketenagakerjaan juga sudah merangkul PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk untuk sistem pembayarannya dan tengah menjajaki kerja sama serupa dengan dua bank pelat merah lainnya, yaitu PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kerja sama itu belum termasuk dengan Indomaret untuk peserta individu yang mendaftar secara mandiri.
Sebetulnya, Junaedi mengklaim, sejak awal berganti baju dari eks PT Jamsostek (Persero), BPJS Ketenagakerjaan sudah membangun sistem, infrastruktur dan teknologi informasi yang memadai, termasuk juga sumber daya manusianya. "Sekarang ini, kami terus melakukan penyempurnaan terhadap sistem dan infrastruktur yang sudah kami bangun," terang dia.
Belajar dari pengalaman penyelenggara jaminan kesehatan nasional, BPJS Ketenagakerjaan sepertinya ingin lebih siap ketika PP soal jaminan pensiun terbit. Meski, hingga kini, belum ada kejelasan terkait iuran jaminan pensiun, berapa porsi yang dibayar pemberi kerja dan penerima upah serta badan usaha besar dan menengah yang wajib lebih dulu mengikuti jaminan pensiun.
BPJS Ketenagakerjaan sendiri sebelumnya menyebut, sebagai tahap awal, jaminan pensiun wajib bagi badan usaha besar dan menengah. Indikator badan usaha besar dan menengah ini belumlah jelas, apakah terkait asetnya atau aktivitasnya, apakah menurut definisi Kementerian Tenaga Kerja atau Kementerian Perdagangan.
Sedikit informasi saja, sumber Kontan yang enggan disebutkan namanya menyebut, PP terkait jaminan pensiun akan terbit bulan ini. Ada dua isu yang masih menjadi kendala, yakni terkait manfaat dan iuran. Dewan Jaminan Sosial Nasional mengusulkan iuran yang pantas sebesar 8 persen, 5 persen dari pemberi kerja dan 3 persen dari karyawan.
Namun, suara keberatan datang dari pengusaha indonesia dan pelaku industri dana pensiun swasta. Iuran 8 persen dianggap memberatkan pelaku usaha dan mematikan pelaku industri dana pensiun swasta. Kedua asosiasi ini menawar iuran jaminan pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan layak di kisaran 3 persen - 4 oersen. Ini yang membuat PP jaminan pensiun terlambat turun.
Yang pasti, jaminan pensiun yang akan dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan nanti sedikit banyak mempengaruhi industri dana pensiun swasta. Sebab, tidak sedikit badan usaha yang melempar pengelolaan dana pensiunnya lewat Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), atau Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).
Sebelumnya, Elvyn G Masassya, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan menargetkan, pihaknya mengincar paling tidak 15 juta peserta jaminan pensiun dalam dua tahun pertama sejak jaminan terkait diluncurkan pada 1 Juli 2015 mendatang. Peserta ini berasal dari badan usaha besar dan peserta yang sudah tercatat memiliki program jaminan sosial tenaga kerja.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, hingga saat ini, jumlah peserta jaminan sosial tenaga kerja mencapai 17 juta peserta. Potensinya sendiri mencapai 40 juta peserta pekerja formal.
No comments:
Post a Comment