Wednesday, April 15, 2015

Jurang Perbedaan Si Kaya dan Si Miskin Di Indonesia Semakin Melebar

Latif Adam, Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bertambahnya jumlah orang kaya di Indonesia justru mencerminkan ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin lebar. Hal itu tercermin dari indeks rasio Gini yang meningkat sejak 2008.

"Di satu sisi jumlah orang kaya baru tumbuh pesat, di sisi lain masih banyak orang yang berada di lingkaran kemiskinan. Boleh jadi karena distribusi pendapatannya tidak merata," ujarnya . Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks rasio Gini pada 2008 sebesar 0,35 dan terus meningkat setiap tahunnya menjadi 0,413 pada 2013. Rasio Gini merupakan indikator untuk mengukur derajat pemerataan distribusi pendapatan penduduk, dengan nilai antara 0 dan 1. Semakin kecil indeks mendekati 0, maka tingkat pemerataan meningkat dan sebaliknya.

Latif juga menyoroti kontribusi orang kaya terhadap pendapatan negara yang tidak lebih besar dibandingkan masyarakat kelas menengah dan kecil. Dia menduga para miliuner pemilik bisnis raksasa di Indonesia tidak transparan dalam menjalankan usahanya guna menghindar dari kewajiban pajak.

"Kalau melihat Menkeu dan Dirjen Pajak mengeluh bahwa penerimaan dari para pengusaha rendah, saya yakin mereka tidak transparan dalam melaporkan kekayaannya," jelasnya.  Karenanya, Latif menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak menjadikan kelompok masyarakat kaya sebagai sasaran utama dalam menggenjot penerimaan pajak. "Jadi kalau mau menignkatkan tax ratio, mereka-mereka ini yang harus jadi target utama," katanya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan memperkirakan realisasi penerimaan pajak pada tahun ini mencapai Rp 1.000 triliun, yang Rp 97 triliun berasal dari setoran pajak penghasilan (PPh). Kelompok pekerja, yang pendapatannya secara otomatis dipotong PPh oleh perusahaan, menyumbang sekitar Rp 93 triliun. Sedangkan sisanya Rp 4 triliun merupakan pajak yang benar-benar disetorkan langsung oleh pemilik usaha atau WP badan yang sadar pajak

Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menyoroti ketimpangan pendapatan yang semakin melebar antara golongan penduduk kaya dan miskin. Hal itu ditandai dengan meningkatnya rasio Gini dari 0,36 persen pada 2005 menjadi 0,41 persen pada 2013.

"Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan. Di antaranya adalah masalah ketimpangan pendapatan yang semakin melebar antara golongan penduduk kaya dan miskin, yang ditandai oleh rasio Gini yang meningkat," ujar Menkeu pada acara Investor Gathering, di Jakarta, Rabu (3/12).

Selain itu, lanjut Bambang, produktivitas tenaga kerja dan ketersediaan infrastruktur Indonesia juga masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain. "Berbagai permasalahan ini harus segera diatasi dan dicari solusinya agar ekonomi kita mampu tumbuh pada level potensialnya secara berkelanjutan dan berkeadilan," katanya.

Namun demikian, Menkeu mengakui sejak era krisis keuangan Asia pada akhir tahun 90-an, perekonomian Indonesia telah berangsur pulih dan mampu kembali mencapai pertumbuhan positif. Membaiknya kinerja ekonomi Indonesia tersebut juga diikuti dengan menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran secara konsisten, serta ditandai dengan inflasi yang secara umum cukup terkendali.

Dari sisi fiskal, katanya, pemerintah juga telah mampu mengelola APBN secara lebih berhati-hati, yang ditandai dengan tingkat defisit yang terus terjaga pada level yang aman, yakni di bawah 3 persen dari PDB. "Rasio utang pemerintah secara signifikan juga telah mampu diturunkan lebih dari setengah dibandingkan dengan posisinya sekitar satu dekade silam," katanya.

Alokasi anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) akan terus ditingkatkan oleh pemerintah selama lima tahun ke depan. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menilai melalui program pemberian bantuan langsung kepada Keluarga Sangat Miskin (KSM) ini mampu mengentaskan masyarakat miskin di Indonesia.

"Menurut kami (PKH merupakan) salah satu program yang lima tahun ke depan harus diperbesar secara masif,” ujar Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro dalam acara Jakarta Food Security Summit, di Jakarta, Jumat (13/2).

Bambang mencotohkan, program pemberian bantuan subsidi langsung "Bolsa Familia" di Brazil sejak 2003 dapat menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan (koefisien gini) Brazil dari 0,4 menjadi 0,3 dalam kurun waktu lima hingga 10 tahun. Hal itu menurut Bambang bukanlah hal yang mudah karena turunnya koefisien gini Brazil terjadi ketika sedang mengejar angka pertumbuhan ekonomi seperti yang dialami Indonesia saat ini.

Mantan Wakil Menteri Keuangan ini menyadari ketika perekonomian negara sedang melaju cepat maka pendapatan akan cenderung teralokasi lebih banyak di golongan masyarakat menengah ke atas. Oleh karena itu, dengan adanya peningkatan alokasi anggaran untuk PKH diharapkan indeks koefisien gini Indonesia dapat turun dari angka 0,41 saat ini.

"Kita tidak menghalangi laju pendapatan masyarakat menengah ke atas tapi kita mempercepat laju (pendapatan) yang di (masyarakat) bawah,"ujarnya.  Nantinya, lanjut Bambang, program pengentasan pemerintah dapat mendorong produktivitas di sektor pertanian karena sebagian besar pelaku di sektor pertanian masuk dalam kategori miskin.

Sebagai informasi, anggaran PKH dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan RAPBNP 2015 naik menjadi Rp 5,4 triliun dari sebelumnya Rp 5,2 triliun dalam APBN 2015. Anggaran tersebut dialokasikan untuk membantu sekitar 3 juta rumah tangga dalam kategori KSM

Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro kembali menyindir perilaku sebagian besar orang kaya di Indonesia yang tidak patuh membayar pajak. Menurutnya, peningkatan harta orang kaya di Indonesia tidak sebanding dengan rendahnya setoran pajak mereka.  "Padahal Forbes bilang kita punya banyak orang kaya. Tapi sekarang banyak yang tidak bayar pajak sesungguhnya, banyak yang pura-pura tidak tahu," ujar Bambang di Gedung Bank Indonesia, Selasa (2/12).

Berdasarkan logika, Bambang menyebut setoran pajak perusahaan selaku wajib pajak badan seharusnya lumayan besar. Namun, kenyataannya tidak lebih besar dibandingkan dengan setoran pajak individu atau karyawan yang secara otomatis dipotong langsung setiap bulan oleh instansi atau perusahaan pemberi kerja.

Total penerimaan pajak, kepabeanan dan cukai tahun 2014 ini diprediksi mencapai Rp 1.000 triliun. Tapi pajak orang pribadi hanya Rp 97 triliun, di mana Rp 93 triliun merupakan pajak yang otomatis dipungut dari karyawan. "Berarti pajak yang benar-benar dibayar orang atau pengusaha hanya Rp 4 triliun," jelas Bambang.

Hal ini, kata Bambang, menjadi perhatian Presiden Joko Widodo yang meminta agar penerimaan pajak dioptimalkan semaksimal mungkin. Menurutnya, Negara ini memiliki potensi pajak yang sangat besar mengingat Indonesia masuk jajaran 15 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia.  "Langkah yang akan kami lakukan adalah mengoptimalkan penarikan pajak properti dan jasa keuangan," jelas Bambang.

Sektor usaha strategis lainnya yang akan dioptimalkan, kata Bambang, adalah sektor pertambangan. Pasalnya, dari sekian banyak perusahaan tambang yang sudah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).  "Kalau begitu mereka sudah pasti tidak bayar pajak. Tapi ke depan tidak hanya sektor mineral dan batubara," kata Bambang.

Sumber penerimana perpajakan yang menjadi fokus Menteri Keuangan adalah kepabeanan dan cukai. Untuk kebocoran penerimaan kepabeanan diduga karena berkaitan dengan banyaknya pelabuhan "tikus" atau ilegal yang melakukan aktivitas impor dan ekspor tanpa tercatat oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

"Kami juga ingin mendorong cukai. sebenarnya ini bukan penerinaan melainkan untuk mengurangi konsumsi seperti rokok dan minuman keras, tapi kita akan mengoptimalkannya," jelas Bambang Brodjonegoro

No comments:

Post a Comment