Monday, April 6, 2015

Pemerintah Wajibkan Bahan Bakar Nabati Dicampur Dengan BBM

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penyerapan bahan bakar nabati (BBN) sepanjang kuartal I 2015 sebanyak 225.074 kilo liter, anjlok 35,6 persen dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu 350 ribu kilo liter. Angka tersebut juga baru 7,5 persen dari target penyerapan BBN 3 juta kilo lietr (kl) pada tahun ini.

"Penyerapan oleh Pertamina sebesar 180.456 kl, BU (Badan Usaha) BBM non Pertamina sebesar 43.569 kl, dan penggunaan sendiri sebesar 1.049 KL," ujar Dadan Kusdiana, Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Jakarta, Senin (6/4).

Sebagai informasi, tahun ini pemerintah menargetkan angka penyerapan BBN sebanyak 3 juta kl atau turun 500 ribu kl dari target awal di kisaran 3,5 juta kl. Padahal, mulai bulan ini seluruh perusahaan penjual solar atau bahan bakar minyak (BBM) sejenisnya diwajibkan mencampurkan biodiesel sebanyak 15 persen atas produk yang dijualnya

Rida Mulyana, Direktur Jenderal EBTKE, menjelaskan salah satu faktor yang menyebabkan dipangkasnya target pemanfaatan BBN adalah rendahnya daya serap BBN oleh PT Pertamina (Persero) dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, tak adanya alokasi subsidi untuk BBN dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 menjadi salah satu pertimbangan pengurangan target.

“Target tahun ini jadi hanya berkisar di 3 juta KL karena Januari sampai Februari ini realisasinya sangat rendah," tutur Rida Mulyana. Kendati demikian, lanjut Rida, pemerintah akan tetap memberikan subsidi BBN dari pelaku usaha maksimum Rp 4.000 per liter untuk produk biodiesel dan Rp 3.000 per liter untuk bioethanol. Adapun sumber anggaran subsidi BBN akan diperoleh dari pengenaan dana pengembangan minyak sawit mentah atau CPO Supporting Fund sebesar US$ 50 per ton untuk CPO yang diekspor dan US$ 30 per ton untuk setiap penjualan olein

Pasca diumumkannya kebijakan pemerintah untuk mewajibkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 15 persen sebagai campuran bahan bakar minyak, pemerintah pastikan bahwa kebijakan tersebut tak akan memengaruhi alokasi produksi CPO lokal untuk minyak goreng. Kondisi ini dipastikan terjadi mengingat pengusaha sudah sepakat untuk mengalokasikan kelebihan ekspor CPO untuk kewajiban B-15 tersebut.

"Sudah dibicarakan dengan para pengusaha kelapa sawit bahwa kebijakan pengenaan pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) sebesar 15 persen tidak akan mengganggu alokasi CPO untuk minyak goreng. Karena para pengusaha beranggapan, alokasi CPO untuk biodiesel berasal dari kelebihan produksi yang selama ini diekspor," ujar Menteri Perdagangan Rachmat Gobel di Jakarta, Senin (6/4).

Merujuk data yang diberikan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kebutuhan produk CPO untuk pangan mencapai 5,9 juta ton pada tahun 2015. Sedangkan produksi CPO untuk BBN diperkirakan hanya dialokasikan sebesar 4,2 hingga 4,8 juta ton, dimana angka tersebut lebih kecil dari penggunaan CPO untuk margarin dan minyak goreng.

"Karena kami, bersama pengusaha, sudah mengalokasikan CPO sebanyak lima juta ton untuk kebutuhan domestik, lima juta ton untuk kebutuhan BBN, dan 20 juta untuk kebutuhan ekspor. Angka alokasinya masih di atas dari proyeksi kebutuhan BBN kita yang sebesar 4,8 juta ton, itu pun kalau kebijakan BBN - 15 diberlakukan secara sungguh-sungguh," tambahnya.

Bahkan Rachmat juga mengatakan bahwa alokasi CPO minyak goreng untuk pangan masih akan tetap aman meskipun proporsi penggunaan BBN di campuran BBM menjadi 20 persen mengingat pengusaha sawit akan mengambil jatah BBN dari alokasi ekspor. Maka dari itu, Rachmat berharap industri pengolahan BBN dalam negeri pun juga akan terus berkembang seiring penggunaan BBN ini berkembang.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, pemerintah melalui revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 20 tahun 2014 akan segera menerapkan penggunaan BBN sebesar 15 persen. Bahkan, rencananya Kementerian ESDM pun juga akan menyiapkan mandatori sebesar 20 persen mulai tahun 2016 mengingat produksi minyak Indonesia diramalkan tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Gapki sendiri memprediksi bahwa produksi CPO dan turunannya pada tahun ini mencapai 33,1 juta ton, dimana penggunaan biodiesel akan mencapai 12,68 hingga 14,5 persen. Proyeksi proporsi terbesar penggunaan produk CPO masih akan diekspor, yaitu sebesar 22,3 juta ton atau sebesar 67,3 persen dari total produksi

No comments:

Post a Comment