Perusahaan berbasis tekstil dan garmen terintegrasi, Sritex Group non-listed, akan mengoperasikan pabrik rayon (fiber) senilai US$ 250 juta atau setara RP 3,2 triliun pada tahun depan. Dengan adanya pabrik baru berkapasitas 80 ribu ton per tahun ini, PT Sri Rejeki Isman Textile (Sritex) sebagai induk usaha berharap bisa mengurangi impor bahan baku hingga 30 persen.
"Selama ini bahan baku impor kami masih berkisar 50 persen. Dengan adanya pabrik baru, kami harapkan komponen impor bisa berkurang sebanyak 30 persen," ujar Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, ketika ditemui di Kementerian Perindustrian, Kamis (9/4).
Iwan mengatakan bahwa 50 persen komponen impor yang disebutkan terdiri dari impor rayon sebesar 30 persen dan impor katun sebesar 20 persen. Katun masih akan tetap didatangkan dari luar negeri mengingat Indonesia masih belum bisa memroduksi produk tersebut secara mandiri. "Katun masih akan tetap kita impor. Biasanya kami impor dari Australia, Amerika Serikat, dan Brazil," jelasnya.
Menurut Iwan, pabrik seluas 100 hektar ini telah dibangun selama 1,5 tahun terakhir dengan investasi senilai US$ 250 juta. Selain itu, pabrik yang rencananya akan memiliki kapasitas sebesar 80 ribu ton per tahun ini adalah pabrik ke-12 milik perusahaan yang semuanya berlokasi di Karanganyar, Jawa Tengah. Pabrik rayon milik Sritex ini juga akan menjadi pabrik rayon ketiga di Indonesia setelah PT Indo Bharat Rayon dan PT Pacific Viscose.
Iwan Setiawan menerangkan Sritex pada tahun ini akan menggelontorkan belanja modal sebesar US$ 104 juta untuk pengembangan produk kain jadi serta garmen. Perusahaan yang terdaftar di bursa ini akan mengeluarkan 80 persen dari total belanja modalnya untuk kain jadi, sedangkan 20 persen sisanya untuk ekspansi produksi garmen.
Mengacu pada data milik perusahaan, Sritex akan menambah produksi garmen dari 14 juta lembar per tahun pada 2014 menjadi 30 juta lembar per tahun pada 2016. Selain itu, produksi hasil kain pun akan bertambah dari 120 juta meter pada tahun lalu menjadi 180 juta meter pada tahun depan.
Perusahaan tekstil dan garmen asal Solo, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex menyiapkan belanja modal US$ 245 juta guna mendongkrak ekspansi perseroan hingga 2016. Direktur Keuangan Sritex Allan Moran Severino mengatakan perseroan menyiapkan dana tersebut untuk meningkatkan kapasitas produksi pabrik yang pada saat ini tingkat utilisasi-nya sudah hampir penuh. Hal itu disebabkan permintaan dari pelanggan yang kian meningkat.
Untuk belanja modal pada 2015 dicanangkan sebanyak US$ 104 juta,” kata Allan dalam paparan publik di Jakarta, Selasa (2/12). Dari dana tersebut, sebesar US$ 45 juta akan digunakan untuk menambah divisi finishing di pabrik, sebanyak US$ 10 juta untuk divisi garmen, dan sisanya digunakan untuk weaving dan pemintalan benang. Allan menyatakan, semua dana berasal dari kas internal.
“Dana semuanya sudah fully funded dari laba sebelumnya dan kas perseroan,” jelasnya. Sekadar informasi, Sritex saat ini lebih banyak menjual hasil produksinya ke luar negeri di mana bisnis utama perseroan yaitu membuat pakaian militer untuk beberapa negara. Salah satunya adalah seragam militer NATO.
“Kami menargetkan penjualan hingga akhir tahun ini sebesar Rp 7,1 triliun. Sementara pada tahun depan saya targetkan bisa tumbuh 12 persen,” ungkap Allan. Sampai September 2014 Sritex mampu mencetak penjualan senilai Rp 5,14 triliun, atau meningkat 23 persen dari periode yang sama 2013 sebesar Rp 4,18 triliun. Sementara, laba bersih perseroan selama sembilan bulan di tahun ini tercatat Rp 265 miliar, naik 6 persen dari periode yang sama di 2013
PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex berencana menaikkan harga jual produknya, baik benang, kain, maupun pakaian jadi akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan naiknya Upah Minimum Provinsi (UMP). Direktur Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto mengatakan naiknya harga BBM berpengaruh terhadap biaya distribusi perseroan, sehingga diperlukan penyesuaian harga jual kepada pelanggan.
"Kita akan naikkan sesuai dengan kenaikan harga BBM, misalnya kenaikan Rp 1.000 maka kita naikkan Rp 1.000 juga untuk per produknya,” kata Iwan usai paparan publik di Jakarta, Selasa (2/12).
Pada 18 November 2014, pemerintah secara resmi mengumumkan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang menyebabkan harga BBM bersubsidi mengalami kenaikan rata-rata 30 persen. Premium naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, sementara solar naik dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter.
Iwan menambahkan naiknya harga produk bukan hanya disebabkan oleh BBM bersubsidi saja. Kebijakan pemerintah-pemerintah daerah yang menaikkan UMP 2015 juga mendorong perseroan menyesuaikan harga jual. Namun, Iwan memastikan penyesuaian harga produk akibat UMP baru direalisasikan tahun depan. "Kalau terkait UMP, rencananya akan kita naikkan enam persen dari harga sekarang," jelasnya.
Sekadar informasi Sritex saat ini lebih banyak menjual hasil produksinya ke luar negeri. Bisnis utama perseroan adalah membuat pakaian militer untuk beberapa negara termasuk seragam militer NATO.
Dari sisi kinerja, sepanjang sembilan bulan di 2014 Sritex mampu mencetak penjualan senilai Rp 5,14 triliun, atau meningkat 23 persen dari periode yang sama 2013 sebesar Rp 4,18 triliun. Sementara, laba bersih perseroan selama sembilan bulan tahun ini tercatat Rp 265 miliar, naik 6 persen dari periode yang sama di 2013.
PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, perusahaan tekstil dan garmen asal Solo berencana melakukan penetrasi hingga ke sektor pucuk hilir dengan merangsek ke sektor usaha ritel fesyen. Direktur Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto mengatakan rencana perseroan untuk terjun ke sektor ritel masih dalam pengkajian. Rencana itu dilakukan untuk mengembangkan sayap pemasaran perseroan dalam tiga tahun ke depan guna menambah pangsa pasar.
"Yang penting sesuai dengan manufacturing dan produk yang kita kembangkan,” kata Iwan dalam paparan publik di Jakarta, Selasa (2/12). Sementara Wakil Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto menambahkan, ada beberapa opsi dalam merangsek ke sektor ritel seperti joint venture, pengembangan brand pribadi dan akuisisi brand lain.
“Tapi saya lebih memilih akuisisi brand atau mengembangkan brand sendiri. Untuk akuisisi yang akan diutamakan adalah brand lokal,” ungkapnya. Terkait pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, manajemen Sritex menilainya bukan suatu masalah karena transaksi perseroan dalam mata uang dolar sekitar 70 persen. Di tahun depan, perseroan berencana menggunakan laporan keuangan dengan nominal dolar.
“Hal itu kami lakukan untuk menghilangkan kerugian kurs,” ujar Direktur Keuangan Sritex Allan Moran Severino dalam kesempatan yang sama.
No comments:
Post a Comment