Wednesday, May 13, 2015

3 Kategori PSK Di Sektor Industri Prostitusi

Pengamat isu perempuan dan keadilan jender yang juga Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengatakan kasus bisnis jual beli Pekerja Seks Komersial (PSK) papan atas di Indonesia bukan fenomena baru. Menurut Sulistyowati, sejauh ini terdapat tiga kategori PSK di mayoritas negara Asia, termasuk di Indonesia.

"Mengacu pada sebuah penelitian yang dilakukan Professor Louise Brown dari Inggris tentang perdagangan perempuan dan pelacuran di banyak negara Asia, ada tiga kategori PSK, yang tidak bisa disamaratakan," kata Sulistyowati  Louise Brown merupakan seorang dosen Studi Asia di University of Birmingham, Inggris, yang menulis buku berjudul Perbudakan Seks di Asia. Menurut Louise, kata Sulistyowati, tiga kategori besar dibuat untuk memisahkan jenis pelacuran.

"Yang pertama adalah kelompok perempuan cantik yang memilih profesi menjajakan diri dengan bayaran yang sangat tinggi," kata Sulistyowati. PSK kelas atas dari kelompok pertama ini, kata Sulistyowati, memiliki wajah yang sangat cantik, berpendidikan dan biasanya fasih berbahasa Inggris. Mereka bekerja dengan berkeliling dari kota demi kota di Asia dan mendapatkan bayaran hingga ratusan juta rupiah.

Louise menjabarkan hal tersebut dalam bukunya, 'di bagian utama pasar (pelacuran) Asia adalah prostitusi kelas atas yang disebut perempuan panggilan, yang bekerja di hotel dan apartemen mewah dan memberikan layanan kepada lelaki hidung belang yang kaya raya. ' "Perempuan penjaja yang berasal dari kelompok ini jumlahnya paling sedikit dan paling langka di piramida bisnis seks di Asia," kata Sulistyowati menjelaskan.

Perempuan PSK dari kelas ini memilih melakukan prostitusi karena mereka bisa meraih uang banyak dalam waktu singkat melalui seks. Mereka biasanya berasal dari keluarga kelas menengah dan tidak menjual seks karena miskin dan tak punya pekerjaan lain melainkan faktor kenikmatan.

Lalu, kata Sulistyowati, kelompok yang kedua adalah grup PSK yang menjajakan diri mereka ditemani dengan mucikari dan biasanya ditemukan di tempat lokalisasi. "Salah satunya yang ditemukan Pemda DKI di Kalibata Mall. Itu termasuk ke dalam jenis PSK kedua ini," kata Sulistyowati mengacu kepada penelitian Brown. Kelompok kedua tersebut, katanya, memiliki struktur, jaringan serta mucikari yang menjaga dan memasarkan pelacur bersangkutan. Jumlah PSK di kelompok kedua ini jauh lebih banyak dari kelompok di level atas.

"Seterusnya, ada kelompok pelacuran yang sungguh-sungguh menjajakan diri karena terdesak kebutuhan ekonomi," kata Sulistyowati.Mengaca pada kasus di Indonesia, PSK dari kalangan ketiga ini bisa ditemukan di wilayah makam-makam atau warung kaki lima dengan mendapatkan bayaran mulai dari Rp 5 ribu hingga puluhan ribu rupiah sekali melayani. "Jumlah mereka yang paling banyak diantara semua golongan," kata dia menjelaskan.

Sebelumnya, Kepolisian Resor Jakarta Selatan berhasil menangkap seorang mucikari yang biasa menyalurkan pekerja seks komersial (PSK) papan atas di Indonesia. Tersangka berinisial RA, alias Obbie, ditangkap Polres Jaksel setelah menjadi perantara dalam transaksi jual-beli PSK di sebuah hotel ternama di kawasan Jakarta Selatan, Jumat malam (8/5).Menurut keterangan Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat, RA ditangkap setelah pihak kepolisian berhasil mengelabuinya dengan berpura-pura menjadi pembeli dalam bisnis jual-beli wanita yang dia lakukan.

"Modusnya menawarkan seseorang, kemudian ketika kita mau memesan harus memberikan uang muka sebesar 30 persen dari nilai keseluruhan transaksi. Pada hari yang telah ditetapkan, pembayaran harus dilunasi sebelum masuk kamar," ujar Wahyu di Kantor Polres Metro Jakarta Selatan, Sabtu (9/5). Menurut penjelasan Wahyu, sang tersangka biasa memasarkan PSK dengan harga yang cukup tinggi yaitu berkisar antara Rp 80 juta hingga Rp 200 juta untuk durasi tiga jam. Karena tarif PSK yang ditawarkan sangat tinggi, maka pembeli yang dilayani RA umumnya bukan merupakan kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah di ibu kota.

RA diketahui melayani penjualan lebih dari 200 PSK papan atas selama ini. Namun Wahyu tidak dapat menyebutkan latar belakang profesi para PSK yang menjadi objek jual RA."Dari pemeriksaan kami, terdapat 200 perempuan (yang biasa dijual oleh RA). Latar belakang saksi kami tidak dapat sebutkan demi kepentingan penyidikan," ujar Wahyu.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku bingung dalam menangani keberadaan prostitusi. Apalagi saat ini pelaku bisnis remang-remang ini telah memanfaatkan teknologi untuk mencari pelanggan. Ahok bahkan menantang mereka yang selama ini menolak prostitusi untuk memberi solusi pasti. "Dari zaman nabi udah ada prostitusi, saya juga bingung caranya," kata pria yang akrab disapa Ahok ini di Jakarta, Senin (11/5).

Bukan hanya prostitusi kelas kelas teri, prostitus kakap juga menurutnya sudah ada sejak lama. "Sejak saya masih ngompol sudah ada," katanya.Selama ini, tambah Ahok, ada kesan tidak diakuinya keberadaan prostitusi papan atas ini sehingga menjadi rahasia umum. Bahkan pelanggan pekerja seks komersil (PSK) papan atas itu adalah oknum pejabat. Hanya oknum pejabat itu, terutama yang mendapat uang korup yang bisa membayar mahal . "Korupsi baru bisa pakai," katanya.

Bisnis prostusi online kelas atas terungkap setelah Polres Jakarta Selatan menangkap RA alias Obbie, Jumat pekan lalu. Pria ini ditengarai menjadi perantara sekitar 200 orang PSK papan atas. Untuk sekali kencan dengan para PSK tersebut dengan durasi 3 jam, Obbie mematok harga Rp 80 juta hingga Rp 200 juta. Obbie mengatur semua sendirian, dari mulai menawarkan melalui pesan instan Whatsaap dan Blackberry Messengger, menerima pembayaran hingga menentukan tempat pertemuan dan kamar hotel bintang lima yang akan dipakai.

Obbie saat ini sudah dijadikan tersangka dan dijerat dengan Pasal 296 dan 506 KUHP tentang menarik keuntungan dari perbuatan cabul dengan ancaman hukuman satu tahun empat bulan penjara. Sementara PSK yang sempat diamankan petugas hanya dijadikan saksi.

No comments:

Post a Comment