Pertumbuhan kredit industri perbankan di Indonesia pada kuartal I 2015 tercatat di level 11,3 persen, atau posisi terendah sejak Maret 2010 yang saat itu mampu tumbuh 11,5 persen secara tahunan. Pengamat menilai tingkat kredit macet (non performing loan/NPL) bakal mencapai puncaknya pada kuartal II 2015.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan industri perbankan mencapai posisi terendah sejak awal 2010 setelah krisis ekonomi global. Sementara kredit modal kerja saat ini tumbuh di bawah 10 persen, sedangkan kredit investasi tumbuh 13,5 persen secara tahunan dan kredit konsumsi 11,6 persen secara tahunan.
Berdasarkan pembagian sektoral, kredit perikanan tumbuh lebih dari 20 persen secara tahunan, konstruksi 28 persen, sedangkan kredit rumah tangga masih tetap 12,5 persen secara tahunan. Seluruh area di Indonesia membukukan pertumbuhan yang lebih rendah dari bulan sebelumnya kecuali di Sulawesi dan bagian lain (kawasan Timur Indonesia/KTI).
Tjandra Lienandjaja, analis PT Mandiri Sekuritas menyatakan, pertumbuhan simpanan (Dana Pihak Ketiga/DPK)masih terjadi dan berada di level 16 persen secara tahunan. Dia mencatat, pemenang pada periode Maret adalah bank kecil, termasuk bank pembangunan daerah, yang masing-masing tumbuh 18,9 persen dan 28,1 persen secara tahunan. “Kami meyakini hal tersebut disebabkan penurunan suku bunga di antara bank besar sementara bank kecil masih menawarkan suku bunga yang lebih tinggi,” jelasnya dalam riset, Selasa (19/5).
Di antara tipe DPK, deposito berjangka masih membukukan pertumbuhan lebih besar yaitu 20 persen, sedangkan tabungan hanya tumbuh 4 persen secara tahunan. Berdasarkan area, seluruh daerah membukukan pertumbuhan suku bunga yang mengindikasikan dibandingkan posisi Januari dan Februari serta mengindikasikan lebih banyak dana menganggur di sistem. Rasio kredit terhadap DPK (LDR) turun 87,6 persen pada Maret 2015, kembali ke posisi Juni 2013.
“Kami juga menggaris bawahi bahwa penghitungan dan kalkulasi margin bunga bersih (net interest margin/NIM) kurang tepat, karena memasukkan faktor aset laba off-balanced sejak November 2013. Perbankan juga memasukkan lagi metode yang sama pada Maret 2015 ketika rerata laba aset turun 22 persen secara bulanan,” jelasnya.
Sebagai hasilnya, lanjut dia, rerata NIM industri kembali ke 5,3 persen pada Maret 2015 dari 4,1 persen pada Februari 2015. Di antara bank, NIM bank BUMN 5,9 persen, 4,9 persen di bank komersial, dan BPD sebesar 7 persen, sedangkan level di bank patungan dan bank asing masing-masing sebesar 3,3 persen dan 3,7 persen. Adapun pinjaman tidak lancar industri turun menjadi 2,4 persen pada Maret.
“Kami masih memprediksi NPL akan naik lagi dan kemungkinan akan mencapai puncaknya pada kuartal II 2015. Karena kami mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang lebih besar pada kuartal III, maka kami memprediksi pertumbuhan kredit akan mulai naik dan kualitas asetnya juga naik yang akan memberikan tekanan lebih kecil kepada perbankan untuk menyisihkan beban provisi,” ungkap Tjandra.
Perusahaan audit asal Amerika Serikat PricewaterhouseCoopers (PwC) telah menyelesaikan Survei Perbankan Indonesia 2015 yang menunjukkan para pemimpin industri perbankan masih memiliki gambaran positif tentang daya tarik iklim usaha, dengan memperhatikan beberapa tantangan signifikan.
Tantangan utama yang dihadapi pada tahun ini menurut responden adalah perlunya mengurangicost of funds, perlunya mengembangkan sumber pendapatan baru seiring melambatnya permintaan produk pinjaman, dan perlunya mengatur pengelolaan manajemen risiko dan kerangka kerja kepatuhan terhadap peraturan-peraturan yang makin kompleks.
Kekhawatiran utama responden mencakup pertumbuhan penyaluran kredit yang relatif melambat disertai dengan meningkatnya kekhawatiran akan kualitas aset pinjaman bank. "Mayoritas bankir memperkirakan pertumbuhan kredit di 2015 antara 10-20 persen," ujar Jusuf Wibisana, Financial Services Partner PwC saat memaparkan hasil surveinya di Jakarta, Selasa (19/5).
Bank daerah, syariah dan bank BUMN memandang pertumbuhan kredit di segmen UKM, retail, dan konsumer adalah kunci untuk mengejar target pertumbuhan di 2015. Sementara bank asing dan bank joint venture lebih berfokus pada pertumbuhan kredit korporasi.
Survei tersebut diikuti oleh 64 eksekutif perbankan senior di Indonesia. Lebih dari 90 persen responden adalah CEO, Wakil CEO atau anggota Dewan Direksi maupun Komisaris di bank-bank BUMN, Bank Syariah, Bank Daerah, Bank Asing, Bank Joint Ventures dan lain-lain. Secara kolektif mereka mewakili 76 persen aset perbankan. Kuesioner dilengkapi antara Desember 2014 dan Januari 2015.
Kurs Tinggi dan Kredit Macet. PwC juga melihat para responden memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp 12 ribu hingga Rp 13 ribu per dolar Amerika Serikat selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Serta suku bunga Bank Indonesia yang akan terus meningkat selama setahun kedepan. "Kedua hal itu bukan berita bagus bagi masyarakat," kata Jusuf.
Sementara sekitar separuh dari para responden mempersiapkan diri untuk menghadapi meningkatnya kredit macet (non performing loan/NPL) sepanjang 2015. Hal itu memicu bank untuk mengembangkan lebih banyak jasa berbasis fee sebagai upaya menggantikan pertumbuhan dan kualitas pinjaman yang terus menurun.
No comments:
Post a Comment