Melihat potensi pasar pembaca komik yang besar di Indonesia, industri komik lokal bisa memiliki andil dalam membangkitkan industri penerbitan. Komik lokal cetak berpeluang besar berkembang, tapi tak bisa ditinggal sendirian. Pelaku industri komik lokal membutuhkan dukungan pemerintah.
Pengamat komik, Hikmat Darmawan, mengatakan pemerintah bisa memberikan dukungan dengan membangun atau memfasilitasi pembangunan infrastruktur penerbitan baru di daerah. "Misalnya menghidupkan pasar lokal di luar Jakarta dan di luar Jawa. Kalaupun di Jawa, yang lokal, kota-kota kecil," kata Hikmat di Jakarta, Sabtu, 23 Mei 2015.
Di samping itu, menurut dia, Badan Ekonomi Kreatif bisa melakukan sejumlah hal, yakni menyediakan fasilitas berupa kertas, mengadakan berbagai lokakarya seputar komik, dan menyelenggarakan acara-acara bertema komik. Badan Ekonomi Kreatif juga bisa membantu inkubasi industri buku lokal, termasuk komik, di daerah-daerah lewat insentif pajak.
"Komik bisa berperan sebagai salah satu pintu masuk penciptaan pasar penerbit lokal. Jadi logika kerjanya dibalik, yakni dengan membangkitkan industri komik lokal, industri penerbitan lokal pun bangkit," kata Hikmat.
"Semacam di Jepang. Kan, industri komiknya menyumbang banyak sekali kepada besaran industri buku mereka," ucap Hikmat. Menurut dia, saat industri komik lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri, yakni pada 1950 hingga 1970-an, pembaca komik di Indonesia diperkirakan 25-35 juta orang.
Komik buatan anak muda Indonesia mulai digemari para pecinta komik lokal dan bercita-cita menjadi inkubator bagi komikus dalam negeri yang berkarya profesional dan berkualitas internasional. Hal ini disampakkan Chris Lie, 40 tahun, komikus pendiri re:on Comics saat menerima media di kantornya, di Grogol, Jakarta Barat, pada 12 Desember 2014.
Di sana diperlihatkan proses kreatif pembuatan komik oleh para komikus di majalah kompilasi komik pertama dikelola profesional oleh Chris Lie dan Andik Prayogo dan Yudha Negara Nyoman ini. Perusahaan ini hadir sejak 2013 dan hingga November 2014 menerbitkan 10 volume yang terbit setiap 6 minggu sekali.
Chris bercerita, pada 1970, komik di Indonesia terkenal adalah Gundala, lalu pada 1980 ada Tintin. Pada 1990 an komik nasional tak terdengar gaungnya. Karya komikus Indonesia, seperti RA Kosasih, Teguh Santosa, dan Hans Jaladara, hilang di pasaran berganti dengan komik-komik impor seperti Doraemon, Naruto dan Candy Candy. Generasi muda lebih mengenal karakter komik impor dari Jepang.
Kenapa komik Indonesia tidak bisa maju? Menurut Chris karena penerbit komik di Indonesia belum digarap profesional dan tidak berjalan lama. "Butuh waktu dan komitmen untuk memperkenalkan yang baru," kata lulusan Teknik Arsitektur di Institut Teknologi Bandung.
Ia mengaku, sempat jatuh bangun memperkenalkan komik Indonesia."Saya yakin timing belum tepat," ujar peraih beasiswa Fulbright Scholar di Savannah College of Art and Design (SCAD), Georgia, Amerika Serikat (AS).
No comments:
Post a Comment