Thursday, May 14, 2015

Grup Mulia Beli Signature Tower Senilai Rp 2,43 Triliun

Gurita bisnis properti asal Indonesia, Grup Mulia, ekspansi ke Malaysia. Pemilik Hotel Mulia Senayan, The Mulia, Mulia Resort & Villas, Nusa Dua, Wisma Mulia, Wisma GKBI, serta Kondominium dan Mal Taman Anggrek ini bakal menggarap Signature Tower di distrik Tun Razak Exchange (TRE), kawasan keuangan berkelas internasional di Kuala Lumpur, Malaysia.

Presiden Direktur Grup Mulia, Eka Tjandranegara, sudah meneken Sale and Purchase Agreement dengan 1MDB Real Estate Sdn Bhd (1MDB RE), pengembang utama Signature Tower, senilai RM 665 juta alias Rp 2,43 triliun. "Sebagai pengembang properti komersial terbesar di Indonesia, kami bangga bisa memulai proyek ini untuk membangun Signature Tower yang akan menjadi landmarkbaru kota Kuala Lumpur," ujarnya dalam siaran pers yang diterima.

Eka punya alasan pentingnya terlibat dalam proyek prestisius ini. Distrik TRE berperan sangat potensial dalam pengembangan megapolitan Kuala Lumpur ke depan sebagai ibukota Malaysia sekaligus pusat bisnis dan keuangan. Selain itu, lanjut Eka, TRE akan bakal segera mengerek pertumbuhan bisnis Grup Mulia. "Secara pribadi, saya berkomitmen terhadap proyek ini berdasarkan pengalaman kami (Grup Mulia)," imbuhnya.

Chief Executive Officer (CEO) 1MDB RE, Dato’ Azmar Talib bilang, investasi Grup Mulia ini bakal memicu kepercayaan diri investor asing ke Malaysia. "Kami senang Grup Mulia bisa bergabung untuk mewujudkan Tun Razak Exchange yang sangat potensial itu," ucap Azmar.

Asal Anda tahu, TRE merupakan salah satu proyek prestisius lanjutan pemerintah Malaysia dalam program transformasi ekonomi menuju Malaysia dengan penduduk berpendapatan tinggi pada 2020. Luas TRE lebih kurang 70 hektare yang lokasinya hanya beberapa menit dari Menara Kembar Petronas, menara kebanggaan Malaysia.

Transportasi kereta massal cepat akan menghubungkan TRE dengan TRE di Singapura melalui Stasiun Bandar Malaysia. Selain itu, TRE juga bakal punya akses ke jalan tol utama Malaysia dan jalan utama di kota Kuala Lumpur, seperti SMART, MEX, Jalan Tun Razak, dan Jalan Sultan Ismail yang juga terhubung ke pusat perbelanjaan Bukit Bintang, Malaysia.

Sebagai pengembang utama, 1MDB RE sudah mulai menjajakan TRE ke para kontraktor alias investor sekitar bulan September 2014 lalu. Hingga kini, sudah ada beberapa investor besar yang turut menggarap TRE, salah satunya Lend Lease International (LLI), perusahaan properti global dan infrastruktur yang mengembangkan proyek Lifestyle Quarter di area TRE senilai RM 8 miliar atau sekitar Rp 29,19 triliun. LLI juga pengembang teknologi manajemen sumber air Veolia Water Technologies di TRE.

Berdasarkan rencana induknya, TRE akan terdiri dari 25 bangunan utama dengan lebih dari 6,4 juta meter persegi lantai yang terdiri dari perkantoran, residensial, hotel, ritel, pusat kuliner, dan kebudayaan. Proses pembangunan akan memakan waktu 15 tahun yang terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama ditargetkan akan kelar 2017.

Tahun 2020 nanti, pemerintah Malaysia menargetkan proyek nasional, salah satunya proyek distrik TRE ini, bakal mengerek pendapatan per kapita hingga US$ 15.000 per kapita. Proyek ini juga akan mampu menciptakan 3,3 juta lapangan pekerjaan baru dengan total investasi mencapai US$ 444 miliar. Signature Tower yang digarap Grup Mulia akan menjadi satu-satunya simbol TRE dengan ketinggian hingga 380 meter.

Ekspansi Grup Mulia ke Malaysia ini lumayan mengejutkan lantaran bukan sikap seorang Eka Tjandranegara muncul di depan publik. Kebiasaan ini barangkali muncul sejak krisis moneter 1997/1998 menghantam bisnis keluarganya dan santer mengemuka di publik kasus Bank Bali yang melibatkan Joko Soegiarto Tjandra yang sempat disebut sebai "Joker".

Forbes.com mencatat, bisnis Grup Mulia kali pertama berdiri sekitar tahun 1980-an oleh Tjandra Kusuma yang tahun 2006 sempat masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan US$ 80 juta. Tjandra memulai bisnis Grup Mulia bersama anak-anaknya, yaitu Eka Tjandranegara, Gunawan Tjandra, dan Joko S. Tjandra.

Di era 1990-an, sejak kepemimpinan berpindah ke tangan Joko, bisnis Grup Mulia mulai bersemi, bahkan segera menggurita. Berdasarkan laporan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tahun 1999, tentakel bisnisnya melebar dari hingga ke berbagai sektor, seperti properti (terdiri dari sekitar 21 perusahaan sebagai bisnis utama), jasa (5 perusahaan), investasi dan keuangan (dua perusahaan di luar negeri), serta bisnisnya di sektor manufaktur seperti kaca dan keramik (lima perusahaan di dalam negeri dan satu perusahaan di Singapura).

Sayang, dalam perjalanan bisnisnya, rumor korupsi, kolusi, dan nepotisme sempat menghinggapi grup tersebut. Keluarga Tjandra dikabarkan dekat dengan grup Grup Daya Tata Matra (Datam) dan Grup Maharani, grup milik Siti Hediati Hariyadi, anak keempat Soeharto dan Ibu Tien (Siti Hartinah). Maka, tak heran jika Grup Mulia disebut-sebut sangat dekat dengan Keluarga Cendana. Salah satunya, isu pemberian proyek Mal Taman Anggrek oleh Keluarga Cendana.

Tak hanya itu, bersama Sudwikatmono lewat Subentra Group melalui PT Bumi Mulia Perkasa Development, Grup Mulia membangun gedung Lippo Life di Rasuna Said di area 19.035 meter persegi. Grup Mulia juga dikenal sangat dekat dengan Grup Salim dan Grup Lippo, salah satunya dipercaya membangun 20 gedung Bank Central Asia yang lewat PT Bahan Dharma Utama di mana melibatkan nama-nama seperti Anthony Salim, Andree Halim, dan Mochtar Riady.

Benar atau tidak, faktanya, utang Grup Mulia begitu tinggi saat krisis sehingga masuk ke dalam program BPPN lantaran utang grup bisnisnya ke bank berpotensi default alias gagal bayar. Waktu itu BPPN mencatat, nilai total utang mencapai Rp 1,01 triliun terdiri atas PT Mulia Intan Lestari Swakarsa Rp 631,10 miliar, PT The First National Grlassware Rp 226,22 miliar, PT Jaya Sumpiles Indonesia Rp 90,60 miliar, PT Pertama Metal Perkasa Rp 44,27 miliar, PT Mulia Keramik Indah Raya Rp 11 miliar, dan PT Mulia Glass Rp 11 miliar.

Yang jelas, hubungan di antara para pengusaha zaman dulu memang sangat erat. Apalagi di era Presiden Soeharto di zaman Orde Baru. Siapa pun yang hendak berjaya, maka harus "menempel" sang penguasa. Contoh saja, di samping di Grup Mulia, Tjandra Kusuma juga dekat dengan Agung Sedayu Group, perusahaan yang didirikan oleh Sugianto Kusuma alias Aguan dan Tomy Winata di sektor properti. Bukan hanya dekat dalam hal bisnis saja, putra Eka Tjandranegara yang bernama Ekman Tjandranegara rupanya menikah dengan putri Aguan, yaitu Lareina Halim Kusuma. Mereka menikah 15 Januari 2008 silam.

No comments:

Post a Comment