Perusahaan-perusahan yang terdaftar di bursa efek Indonesia (BEI) sebagian telah mengeluarkan laporan kinerja mereka untuk kuartal I-2015. Dan hasilnya merah!. Memang emiten di BEI tidak mewakili kinerja seluruh perusahaan di negeri ini. Paling tidak, kinerja mereka bisa memberikan gambaran betapa pertumbuhan ekonomi saat ini tengah suram.
Salah satunya bisa dilihat dari sektor properti, sektor yang bisa disebut sebagai kebutuhan pokok. Berdasarkan catatan rata-rata emiten BEI mengalami masa sulit. Misalnya saja yang dialami oleh PT Agung Podomoro Land Tbk. Perusahaan yang fokus di properti high rise building atau bangunan jangkung ini mengalami penurunan laba bersih hingga 65,6% menjadi hanya Rp 101,37 miliar di kuartal I-2015. Padahal segmen konsumen emiten berkode APLN ini adalah kelas menengah atas yang konon kebal terhadap krisis.
Justini Omas, Sekretaris Perusahaan APLN mengatakan, penurunan laba tersebut disebabkan turunnya penjualan properti hingga 29,5% menjadi Rp 611 miliar dari sebelumnya Rp 866,4 miliar. "Kontribusi dari penjualan properti menurun lantaran melambatnya pengakuan pendapatan," ujarnya di Jakarta, Minggu (3/5).
Hal senada juga dialami oleh Grup Astra. Sepanjang Januari-Maret 2015, laba bersih PT Astra Internaational Tbk turun sekitar 15,46% secara year-on-year. Per akhir Maret 2015, laba bersih ASII tercatat sebesar Rp 3,99 triliun. Angka ini menyusut dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu sebesar Rp 4,72 triliun.
Hal itu terjadi dikarenakan salah satunya yakni divisi otomotif Astra mengalami penurunan kinerja. Laba dari divisi otomotif turun sekitar 20,88% menjadi sebesar Rp 1,62 triliun. Pertumbuhan ekonomi dan perang diskon menjadi penyebab merosotnya penjualan otomotif Astra. Penjualan mobil Astra turun 21% menjadi 137.000 unit.
Sementara itu, penjualan sepeda motor juga turun sebesar 13% menjadi 1,1 juta unit. Bisnis komponen otomotif juga mengalami hal serupa. PT Astra Otoparts Tbk, grup manufaktur komponen otomotif mencatatkan penurunan laba besih hingga Rp 67% menjadi hanya Rp 87 miliar.
Masih mau contoh lainnya. Coba tengok perusahaan konsumer good seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Laba bersih emiten milik Grup Salim ini longsor hingga 37,3% secara year-on-year (yoy) menjadi Rp 870,1 miliar. Mininnya ekspansi korporasi dan kegiatan ekonomi, membuat permintaan kredit perbankan pun mengalami perlambatan. Buntutnya sudah bisa ditebak, bank akan mengalami penurunan kinerja.
Misalnya PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Bank yang biasanya mengantongi laba tebal ini, kini harus puas laba bersih hanya tumbuh 3% menjadi Rp 6,1 triliun per kuartal I/2015, dibandingkan kuartal I/2014. Perlambatan laba ini karena kenaikan beban bunga naik tinggi, sedangkan pendapatan bunga tidak bisa mengimbanginya.
Beban bunga naik tinggi, karena BRI harus membayar bunga terhadap dana pihak ketiga (DPK)-nya yang sebesar Rp 587,73 triliun. Dimana sebesar Rp 283 triliun berbentuk deposito. Sedangkan pendapatan bunga dari penyaluran kredit hanya tumbuh 9% menjadi Rp 472,9 triliun. “Kredit melambat karena permintaan tidak besar,” kata Haru Koesmahargoyo, Direktur Keuangan BRI, pekan lalu.
Sepanjang triwulan I–2015, laba Bank Mandiri juga hanya tumbuh 4,3% menjadi Rp 5,14 triliun dibanding periode yang sama tahun 2014. Sejatinya, bank dengan aset terbesar di tanah air ini berhasil menyalurkan kredit mencapai Rp 532,8 triliun atawa tumbuh 13,3%, diatas rata-rata pertumbuhan kredit perbankan yang cuma 11%.
Tapi masalahnya, Bank Mandiri menanggung beban bunga sebesar Rp 6,85 triliun yang dibayarkan kepada nasabah simpanan. Jumlah ini meningkat 35,3% dibandingkan dengan beban bunga pada kuartal I–2014 yang hanya Rp 5,06 triliun. Bank berlogo pita emas ini memang cukup agresif dalam mendongkrak dana mahal. Total dana nasabah deposito mencapai Rp 128,8 triliun atau tumbuh 36,01%.
Kinerja yang kurang memuaskan di kuartal pertama membuat para bankir pesimistis melewati sisa bulan di 2015. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), bilang, industri perbankan bakal sulit mencetak pertumbuhan laba dua digit tahun ini. Biaya DPK dan operasional masih akan terus naik, sementara daya serap masyarakat terhadap kredit turun. “Tahun ini, sih, target kredit bisa tumbuh 12%–15%, tapi kami tidak akan memaksakan diri mencapai target itu jika kondisi ekonomi masih lesu,” ujar Jahja.
Efek dari perlambatan ini, Bank Indonesia (BI) harus menampung dana dari kelebihan likuiditas perbankan. Sejumlah bank yang mengalami kelebihan likuiditas karena minim permintaan kredit, memilih memarkirkan dana di BI daripada dananya mengganggur. Sebenarnya, imbal hasil penempatan dana di BI lebih kecil dibandingkan bank menyalurkan kredit. Misalnya, per Maret 2015 bank akan memperoleh imbal hasil 6,13% dari penempatan dana di BI. Sedangkan jika disalurkan menjadi kredit, bank akan memperoleh imbal hasil sekitar 10,52%.
Misalnya, Bank Rakyat Indonesia (BRI), mencatat kenaikan penempatan dana di BI sebesar 83,56% menjadi Rp 107,83 triliun (bank only) per Maret 2015, dibandingkan posisi Rp 58,74 triliun per Maret 2014. Sedangkan, konsolidasi naik 82,44% menjadi Rp 111,16 triliun per Maret 2015, dibandingkan posisi Rp 60,93 triliun per Maret 2014.
“Kedepan, tren penempatan dana di BI akan turun karena mulai ada permintaan kredit pada kuartal II/2015,” kata Heru Koemaharyo. Heru memproyeksikan kredit akan mencapai 15%-17% tahun ini dengan permintaan terbesar pada semester II/2015 ketika pemerintah mulai melakukan belanja modal. Jahja Setiaatmadja, menuturkan, bank yang kelebihan likuiditas memang akan menempatkan dananya di BI. Menurutnya, penempatan dana di BI ini sebagai dana cadangan, jika suatu waktu ada debitur yang ingin mencairkan kredit atau meminta pinjaman. “Bank perlu mencadangkan dana untuk kredit,” katanya.
Per Maret 2015, BCA menempatkan dana di BI sebesar Rp 75,54 triliun, naik 39,6%, dari posisi Rp 54,10 triliun per Maret 2014. Kenaikan secondary resevers ini karena BCA menghimpun DPK Rp 445,09 triliun per Maret 2015, atau naik 9,4% dari posisi Rp 406,79 triliun per Maret 2014. Banjirnya likuiditas akibat tak tersalurkan menjadi kredit ini, membuat Bank Tabungan Negara (BTN) pun mengerem produk depositonya.Tujuannya agar biaya dana (cost of fund) tak terlalu tinggi dan perolehan laba bersih bisa tumbuh lebih baik.
Menurut Maryono, Direktur Utama BTN, efek penurunan ongkos bunga deposito sudah terlihat pada pertumbuhan laba bersih kuartal I-2015 yang lebih baik ketimbang tahun lalu. BTN menjadi salah satu bank yang kinerja lumayan kinclong dibanding bank lainnya. Dimana laba BTN tumbuh 17,9% menjadi Rp 402 miliar.
"Sengaja kami memperlambat pertumbuhan deposito demi mengurangi beban cost of fund, sehingga pertumbuhan laba bersih bisa tetap baik," ujarnya. Berdasarkan laporan keuangan BTN di akhir kuartal I-2015, deposito BTN mencapai Rp 60,61 triliun atau tumbuh hanya 0,84% secara year on year (yoy) dibanding Maret 2014 yang mencapai Rp 60,11 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nelson Tampubolon mengatakan, pertumbuhan kredit di tiga bulan pertama tahun 2015, memang terlihat melemah. Karena industri perbankan menahan diri dalam menyalurkan kredit. Namun, kata dia, secara historis, pertumbuhan kredit di triwulan I memang rendah, dan secara siklus akan kembali meningkat pada triwulan II dan triwulan berikutnya.
"Memang perlambatan pertumbuhan ekonomi bisa mendorong sektor riil agak lambat menyerap kredit. Tapi kami berharap pertumbuhan ekonomi pada kuartal II akan lebih baik dibanding kuartal I,” ujarnya. Ia berharap kredit perbankan akan tumbuh 15%-17% di tahun 2015 ini. Semoga.
No comments:
Post a Comment