Sunday, May 24, 2015

Pemeritah Akan Lakukan Audit Untuk Tindak Perusahaan Yang Memanipulasi Upah

Pemerintah akan melakukan pemeriksaan dan audit terhadap sejumlah perusahaan yang memanipulasi laporan upah. Dalam melakukan pemeriksaan ini, Kementerian Ketenagakerjaan akan bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan Muji Handaya mengatakan pemeriksaan terhadap perusahaan itu baru bisa dilakukan setelah pihaknya menerima laporan secara lengkap dari BPJS Ketenagakerjaan.

“Kami menunggu laporan dari BPJS Ketenagakerjaan, perusahaan mana saja yang melakukan manipulasi, baru kami lakukan penindakan. Karena yang tahu perusahaan mana yang melakukan manipulasi laporan upah kan mereka,” katanya. Manipulasi laporan upah dilakukan sebagai siasat agar jumlah iuran yang dibayarkan perusahaan dalam program yang dijalankan BPJS Ketenagakerjaan, yakni jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua, tidak besar.

Menurut Muji, manipulasi laporan upah akan berdampak kecilnya kompensasi yang diberikan kepada pekerja saat pekerja tersebut mengalami kecelakaan kerja atau kematian. “Kalau seperti ini, akan menimbulkan masalah baru, karena perusahaan abai,” ujarnya. Namun, kata Muji, BPJS Ketenagakerjaan harus bersikap tegas yakni dengan berani menolak iuran yang dibayarkan oleh perusahaan pelaku manipulasi laporan upah. “Kalau memang hasil manipulasi, kenapa harus diterima? Ini juga harus tegas BPJS Ketenagakerjaan.”

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker) Elvyn G Masassya mengatakan, Peraturan Presiden tentang Jaminan Pensiun akan ditandatangani Presiden Joko Widodo pada akhir Mei ini. Begitu pun aturan soal jaminan kecelakaan kerja, kematian serta hari tua. Sesuai Undang-undang, kata Elvyn, operasional penuh empat jaminan BPJS Naker harus dimulai 1 Juli 2015.

Sebelumnya tiga jaminan telah berjalan. Khusus jaminan baru yakni pensiun, sampai sekarang masih belum bisa dipastikan. "Kabar kurang baiknya, jaminan pensiun belum final (besaran) iurannya dari berbagai pihak," katanya di Bandung, Jumat, 8 Mei 2015. Berbagai pihak yang membahas jaminan pensiun itu seperti Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Keuangan, BPJS Naker, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Menurut Elvyn, masih ada sekali putaran rapat lagi dengan pemerintah, "Akhir bulan ini diputuskan." Ajuan dari BPJS Naker soal iuran jaminan pensiun, yakni 8 persen dari besaran upah per bulan, baik yang berjumlah tetap maupun tidak. Sebesar 5 persen dibayarkan pihak pemberi kerja, 3 persen sisanya dibayar pekerja.

Misalnya pekerja berusia 30 tahun dengan upah Rp 2 juta, iuran totalnya Rp 160 ribu per bulan. Sebesar Rp 100 ribu dibayarkan perusahaan, adapun pekerja membayar Rp 60 ribu. Iuran bulanan itu akan dihitung hingga usia 55 tahun, karena usia 56 tahun sudah masuk pensiun.

Akumulasi iuran selama 25 tahun tersebut, sebesar 70 persen menjadi dana jaminan pensiun yang akan diterima peserta. Untuk pensiunan cacat diberikan utuh 100 persen. Manfaat iuran itu hanya akan diberikan ke pekerja yang telah rutin membayar bulanan minimal selama 15 tahun atau 180 bulan. Adapun jika kepesertaan jaminan pensiun tersebut kurang dari 15 tahun, pembayaran dihitung berdasarkan akumulasi iuran bulanan ditambah bunga simpanan.

Dari informasi yang dihimpun, beberapa pihak seperti pengusaha dan pegawai negeri, masih kurang sepakat dengan angka 8 persen tersebut. Pengusaha konon menilainya sebagai beban. Rencananya, sesuai Undang-undang, jaminan pensiun BPJS Naker untuk pegawai negeri, TNI, dan Polri mulai berlaku 2029.

Adapun perusahaan yang diwajibkan ikut, target prioritasnya ke perusahaan skala besar dan menengah. "Itu dilihat dari omzet dan asetnya, nilainya masih dibahas sekarang ini," kata Elvyn.

No comments:

Post a Comment