Saturday, May 23, 2015

Analisa Dampak Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi China Bagi Ekonomi Indonesia

Price Waterhouse Cooper (PwC), perusahaan audit asal Amerika Serikat mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk mewaspadai perlambatan ekonomi Tiongkok yang akan terus berlanjut tahun ini. Ekonom senior PwC Richard Boxshall mengatakan ekonomi Tiongkok diperkirakan akan mencapai titik terendah perlambatan sejak 1990. “Tiongkok memang masih akan memberi kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Namun kami perkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi mereka sebesar 7,2 persen tahun ini akan menjadi yang paling lambat sejak 1990,” ujar Boxshall melalui siaran pers, dikutip Kamis (8/1).

Perlambatan ekonomi Tiongkok sepanjang 2014 lalu terbukti memberikan pengaruh pada tidak tercapainya target penerimaan negara yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebesar Rp 161,63 triliun atau 93,04 persen dari target APBNP Rp 173,73 triliun.

Susiwijoyo Mugiharso, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabenan DJBC menjelaskan dari tiga pos penerimaan yang diamanatkan ke DJBC, hanya setoran cukai yang mencapai target, yakni sebesar Rp 118, 1 triliun atau 100,5 persen dari target Rp 117,45 triliun.  Sementara untuk realisasi bea masuk dan bea keluar, masing-masing hanya terealisasi 90,27 persen atau Rp 32,2 triliun dari target Rp 35,6 triliun dan 54,98 persen atau Rp 11,3 triliun dari target Rp 20,6 triliun.

Khusus untuk bea keluar, lanjut Susiwijoyo, menurunnya kinerja ekspor hingga hingga November menjadi penyebab rendahnya kontribusi penerimaan dari sektor ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia selama periode Januari-November 2014 sebesar US$ 161,67 miliar atau turun 2,36 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

"Realisasi ekspor migas sebesar US$ 127,98 miliar atau turun 4,27 persen, sedangkan ekspor nonmigas sebesar US$ 133,69 miliar atau turun 1,95 persen. Hal ini disebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara utama tujuan ekspor, seperti Tiongkok, Jepang, India, Uni Eropa, dan lain-lain," kata Susiwijoyo.

Menurut Boxshall, Indonesia sedikit terbantu dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS). PwC menilai tahun ini pertumbuhan ekonomi AS akan mencapai titik tercepat sejak sepuluh tahun terakhir. Beberapa indikatornya adalah tingkat pengangguran di AS menurun selama 2014 hingga mencapai di bawah 6 persen, dikombinasikan dengan anjloknya harga minyak, dan semakin meningkatnya konsumsi rumah tangga.

“PwC memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS akan mencapai lebih dari 3 persen di 2015, yang merupakan tingkat pertumbuhan tercepat sejak tahun 2005. Sejalan dengan kondisi tersebut, kami perkirakan bahwa AS akan memberikan kontribusi sebesar 3 persen kepada pertumbuhan PDB dunia di 2015, yang menjadi kontribusi terbesar per tahunnya sejak masa krisis keuangan,” kata Boxshall.

BPS mencatat, sampai November 2014 ekspor non-migas Indonesia ke AS menempati urutan kedua terbesar di bawah Tiongkok yang membeli produk Indonesia sebanyak US$ 1,35 miliar. Sedangkan nilai ekspor ke AS tercatat sebesar US$ 1,24 miliar.

“Indonesia juga perlu meningkatkan kerjasama dengan India yang kami perkirakan akan tumbuh ekonominya mencapai 7 persen. Harga minyak yang rendah akan memicu pertumbuhan PDB, mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan yang dialami India dan membantu menurunkan tingkat inflasi. Hal tersebut membantu India dalam melaksanakan reformasi struktural pertumbuhan makroekonomi mereka,” katanya.

Produktivitas ekspor Indonesia masih rendah dibandingkan kegiatan impor. Hal tersebut terlihat dari neraca perdagangan pada November 2014 yang defisit sebesar US$ 425,7 juta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat akumulasi sepanjang 2014, neraca perdagangan Indonesia masih negatif sebesar US$ 2,07 miliar. Kepala BPS Suryamin menjelaskan selama November 2014, ekspor mencapai US$ 13,62 miliar atau turun 11,29 persen dibandingkan Oktober 2014. Hal tersebut disebabkan turunnya ekspor migas sebesar 14,68 persen dari US$ 2,47 miliar ke US$ 2,11 miliar, sedangkan ekspor non-migas turun 10,64 persen dari US$ 12,88 miliar ke US$ 11,51 miliar.

"Total ekspor Januari hingga November 2014 mencapai US$ 161,67 miliar, turun 2,36 persen. Dari total ekspor itu, untuk ekspor non-migas mencapai US$ 133,69 miliar atau turun 1,95 persen," ujar Suryamin dalam konferensi pers di kantor BPS, Jakarta, Jumat (2/1). Penurunan terbesar ekspor non-migas adalah bahan bakar mineral (yang didominasi batubara) US$ 19,41 miliar serta lemak dan minyak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO) US$ 19,36 miliar.

BPS mencatat pangsa pasar ekspor non-migas Indonesia selama 2014 masih didominasi oleh Tiongkok yang membeli produk Indonesia paling banyak mencapai US$ 1,35 miliar. Pangsa pasar kedua terbesar ekspor non-migas Indonesia yakni Amerika Serikat sebesar US$ 1,24 miliar.

"Kontribusi negara tersebut mencapai 32,74 persen dari seluruh pangsa pasar ekspor non migas Indonesia," kata Suryamin. Pada November 2014, tercatat impor mencapai US$ 14,04 miliar, turun 8,39 persen dibandingkan Oktober 2014. Nilai impor tersebut mencakup impor migas turun 2,92 persen dari US$ 3,58 miliar ke US$ 3,47 miliar, dan impor non-migas turun 10,08 persen dari US$ 11,75 miliar ke US$ 10,57 miliar.


Suryamin juga memproyeksikan penurunan harga BBM tanggal 31 Desember 2014 kemarin mampu menggenjot aktivitas ekspor Indonesia akibat biaya produksi yang menurun. "Kalau harga BBM turun biasanya biaya produksi juga akan turun, tapi biasanya tergantung biaya-biaya kebutuhan lainnya yang biasanya tidak mengikuti penurunan harga," ujarnya.

1 comment: