Peraturan ini bila digabungkan dengan pembayaran PPB sekali seumur hidup akan sangat menguntungkan orang kaya dan spekulan yang memiliki banyak investasi tanah dan rumah non produktif karena aset investasi mereka tidak perlu dibayarkan pajaknya tetapi harganya sudah pasti dijamin akan naik setiap tahun dengan dukungan pemerintah.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan mengatakan penetapan standar baru dalam penetapan nilai tanah dan bangunan akan mempercepat proses pembebasan lahan untuk kepentingan umum, khususnya mempercepat pembangunan infrastruktur.
Bila sudah ada nilai 'batas atas' maka masyarakat yang terkena pembebasan lahan tak bisa lagi meminta ganti rugi di atas batas ketentuan. Selama ini proses pembebasan lahan sulit mencapai titik temu, karena pemerintah masih berpatokan dengan NJOP, sedangkan masyarakat berpatokan pada nilai pasar.
"Program-program pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, yang pasti membutuhkan lahan di situ, nggak lagi bermasalah. Ini juga mendukung percepatan program pembangunan," ujar Ferry saat berbincang, Selasa (3/2/2015).
Kecepatan pembebasan lahan sangat mungkin terjadi dengan sistem 'batas atas', karena ada kepastian harga tanah yang membatasi sebuah pembebasan lahan. Harapannya tidak ada celah bagi spekulan yang kerap 'merecoki' upaya pembebasan lahan dalam berbagai program pembangunan infrastruktur.
Ia menceritakan, selama ini, para spekulan kerap bertindak sebagai 'provokator' yang menyebabkan negosiasi pembebasan lahan dalam sebuah program pembangunan infrastruktur berjalan alot. Para spekulan ini menghasut masyarakat untuk menaikkan harga tanah yang dimilikinya dengan harga yang jauh dari NJOP bahkan jauh dari harga pasar yang wajar.
"Sebelumnya mau bangun jalan, mau bangun rusun, pembangkit, bendungan dan lain-lain itu selalu bermasalah karena direcoki spekulan. Spekulan bisa ada karena kita nggak ada pembatasan harga, nggak ada pengendalian. Kalau sudah ditetapkan begini, nggak ada lagi transaksi yang harganya liar atau terlalu jauh dari harga pasar. Spekulan nggak punya ruang gerak," tegasnya.
Dengan adanya aturan ini tak ada transaksi jual beli yang nilainya lebih tinggi dari harga yang ditetapkan. Namun demikian, dalam penetapannya pemerintah akan berusaha menentukan komposisi yang pas sehingga pihak-pihak yang memiliki kaitan dalam transaksi jual beli tanah dan bangunan tidak merasa dirugikan.
"Dengan Zonasi Nilai Tanah ini, kita kunci harga maksimal tanahnya tentu dengan perhitungan yang adil untuk masyarakat maupun pengembang atau kontraktor. Jadi masyarakat tidak merasa kerendahan pengembang juga nggak merasa ketinggian," katanya.
Selama ini, ketentuan NJOP memiliki dasar hukum yang kuat dari mulai dari Undang-Undang No 12 tahun 1994 yang menyebutkan NJOP sebagai acuan penetapan pajak, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor Nomor 523/KMK.04/1998 tentang pembagian klasifikasi NJOP hingga Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 tentang penetapan besaran NJOP.
Ferry menjelaskan pihaknya sedang membuat daftar aturan terkait yang sudah berlaku untuk dilakukan kajian ulang untuk direvisi seperti undang-undang hingga peraturan menteri. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan sedang menyiapkan standar baru soal penetapan harga tanah dan bangunan untuk menggantikan ketentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam sebuah transaksi jual beli tanah dan bangunan.
Ferry menjelasakan bahwa standar yang menetapkan batas maksimal harga jual tanah dan bangunan ini akan ditetapkan setiap 1 tahun sekali berbeda dengan NJOP yang ditetapkan setiap 3 tahun sekali.
"Itu akan kita rilis setiap satu tahun sekali. Nantinya tidak boleh ada transaksi lahan yang nilainya lebih dari harga lahan yang kita tentukan. Jadi yang kita tentukan batas atasnya," kata Ferrymelalui sambungan telepon, Selasa (3/2/2015), Ferry punya alasan soal penetapan nilai batas atas dilakukan 1 tahun sekali. Menurutnya, jangka waktu tersebut adalah jangka waktu paling ideal dalam penetapan harga tanah dan bangunan.
Hal ini didasarkan pada sejumlah indikator dari mulai kurun waktu pengumpulan data sehingga pengukuran indikator-indikator ekonomi yang biasanya diumumkan per satu tahun sekali seperti data perdagangan, data inflasi tahunan dan berbagai data ekonomi lainnya. "Kalau 3 tahun kelamaan, 6 bulan terlalu cepat kan kita kumpulkan data dulu. Nah 1 tahun ini pas nih," jelasnya.
Selama ini, ketentuan NJOP memiliki dasar hukum yang kuat dari mulai dari Undang-Undang No 12 tahun 1994 yang menyebutkan NJOP sebagai acuan penetapan pajak, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor Nomor 523/KMK.04/1998 tentang pembagian klasifikasi NJOP hingga Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 tentang penetapan besaran NJOP.
Ferry menjelaskan pihaknya sedang membuat daftar aturan terkait yang sudah berlaku untuk dilakukan kajian ulang, seperti revisi undang-undang, hingga peraturan menteri dan lainnya. Sementara itu, berdasarkan Pasal 79 ayat 2 UU No.28 Tahun 2009 Soal Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali.
Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Sejalan dengan usulan penghapusan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan tengah menyiapkan standar baru dalam penentuan harga jual tanah maupun bangunan. Nantinya akan ditetapkan harga maksimal atau 'batas atas'.
Ferry menuturkan bahwa standar baru ini akan ditetapkan berupa batas maksimal alias 'batas atas' harga dalam sebuah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Standar baru ini disebut Zonasi Nilai Tanah (ZNT). "Nanti jadi kita (dalam penentuan nilai jual tanah dan bangunan) pakai Zonasi Nilai Tanah namanya," kata Ferry, Selasa (3/2/2015).
Dengan adanya penetapan ini, lanjut Ferry, nantinya tidak boleh ada transaksi jual beli tanah dan bangunan yang harganya melebihi batas atas ZNT. Hal ini berbeda dengan NJOP yang, di mana harga jual bisa berkali-kali lipat di atas NJOP. Kemudian, tambah Ferry, aturan ini juga akan mengandung perbedaan mendasar lain dengan NJOP dalam hal durasi penetapannya. Bila NJOP diterapkan 3 tahun sekali, maka ZNT ini akan ditetapkan setiap setahun sekali.
"Itu akan kita rilis setiap 1 tahun sekali. Nantinya tidak boleh ada transaksi lahan yang nilainya lebih dari harga lahan yang kita tentukan. Jadi yang kita tentukan batas atasnya," tegas Ferry. Namun demikian, menurut Ferry, lantaran usulan ini sangat erat kaitannya dengan produk hukum yang sudah ada, maka pihaknya juga tengah bersiap untuk mengubah dan membuat payung hukum baru. Diperkirakan sedikitnya butuh waktu setahun sebelum akhirnya benar-benar bisa diterapkan.
"Nanti akan dituangkan dalam bentuk Perpres (Peraturan Presiden) atau Permen (Peraturan Menteri) jadi dasar hukum. Sekarang masih usulan. Saat ini masih pematangan di internal Kementerian Agraria dan Tata Ruang lalu kita akan bawa ke Kementerian Keuangan untuk sinkronisasi dengan perangkat hukumnya," papar dia. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan tengah melakukan kajian payung hukum untuk memuluskan rencananya menghapus Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam penentuan harga jual tanah maupun bangunan.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan mengatakan penetapan standar baru dalam penetapan nilai tanah dan bangunan akan mempercepat proses pembebasan lahan untuk kepentingan umum, khususnya mempercepat pembangunan infrastruktur.
Bila sudah ada nilai 'batas atas' maka masyarakat yang terkena pembebasan lahan tak bisa lagi meminta ganti rugi di atas batas ketentuan. Selama ini proses pembebasan lahan sulit mencapai titik temu, karena pemerintah masih berpatokan dengan NJOP, sedangkan masyarakat berpatokan pada nilai pasar.
"Program-program pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, yang pasti membutuhkan lahan di situ, nggak lagi bermasalah. Ini juga mendukung percepatan program pembangunan," ujar Ferry saat berbincang, Selasa (3/2/2015).
Kecepatan pembebasan lahan sangat mungkin terjadi dengan sistem 'batas atas', karena ada kepastian harga tanah yang membatasi sebuah pembebasan lahan. Harapannya tidak ada celah bagi spekulan yang kerap 'merecoki' upaya pembebasan lahan dalam berbagai program pembangunan infrastruktur.
Ia menceritakan, selama ini, para spekulan kerap bertindak sebagai 'provokator' yang menyebabkan negosiasi pembebasan lahan dalam sebuah program pembangunan infrastruktur berjalan alot. Para spekulan ini menghasut masyarakat untuk menaikkan harga tanah yang dimilikinya dengan harga yang jauh dari NJOP bahkan jauh dari harga pasar yang wajar.
"Sebelumnya mau bangun jalan, mau bangun rusun, pembangkit, bendungan dan lain-lain itu selalu bermasalah karena direcoki spekulan. Spekulan bisa ada karena kita nggak ada pembatasan harga, nggak ada pengendalian. Kalau sudah ditetapkan begini, nggak ada lagi transaksi yang harganya liar atau terlalu jauh dari harga pasar. Spekulan nggak punya ruang gerak," tegasnya.
Dengan adanya aturan ini tak ada transaksi jual beli yang nilainya lebih tinggi dari harga yang ditetapkan. Namun demikian, dalam penetapannya pemerintah akan berusaha menentukan komposisi yang pas sehingga pihak-pihak yang memiliki kaitan dalam transaksi jual beli tanah dan bangunan tidak merasa dirugikan.
"Dengan Zonasi Nilai Tanah ini, kita kunci harga maksimal tanahnya tentu dengan perhitungan yang adil untuk masyarakat maupun pengembang atau kontraktor. Jadi masyarakat tidak merasa kerendahan pengembang juga nggak merasa ketinggian," katanya.
Selama ini, ketentuan NJOP memiliki dasar hukum yang kuat dari mulai dari Undang-Undang No 12 tahun 1994 yang menyebutkan NJOP sebagai acuan penetapan pajak, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor Nomor 523/KMK.04/1998 tentang pembagian klasifikasi NJOP hingga Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 tentang penetapan besaran NJOP.
Ferry menjelaskan pihaknya sedang membuat daftar aturan terkait yang sudah berlaku untuk dilakukan kajian ulang untuk direvisi seperti undang-undang hingga peraturan menteri. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan sedang menyiapkan standar baru soal penetapan harga tanah dan bangunan untuk menggantikan ketentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam sebuah transaksi jual beli tanah dan bangunan.
Ferry menjelasakan bahwa standar yang menetapkan batas maksimal harga jual tanah dan bangunan ini akan ditetapkan setiap 1 tahun sekali berbeda dengan NJOP yang ditetapkan setiap 3 tahun sekali.
"Itu akan kita rilis setiap satu tahun sekali. Nantinya tidak boleh ada transaksi lahan yang nilainya lebih dari harga lahan yang kita tentukan. Jadi yang kita tentukan batas atasnya," kata Ferrymelalui sambungan telepon, Selasa (3/2/2015), Ferry punya alasan soal penetapan nilai batas atas dilakukan 1 tahun sekali. Menurutnya, jangka waktu tersebut adalah jangka waktu paling ideal dalam penetapan harga tanah dan bangunan.
Hal ini didasarkan pada sejumlah indikator dari mulai kurun waktu pengumpulan data sehingga pengukuran indikator-indikator ekonomi yang biasanya diumumkan per satu tahun sekali seperti data perdagangan, data inflasi tahunan dan berbagai data ekonomi lainnya. "Kalau 3 tahun kelamaan, 6 bulan terlalu cepat kan kita kumpulkan data dulu. Nah 1 tahun ini pas nih," jelasnya.
Selama ini, ketentuan NJOP memiliki dasar hukum yang kuat dari mulai dari Undang-Undang No 12 tahun 1994 yang menyebutkan NJOP sebagai acuan penetapan pajak, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor Nomor 523/KMK.04/1998 tentang pembagian klasifikasi NJOP hingga Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 tentang penetapan besaran NJOP.
Ferry menjelaskan pihaknya sedang membuat daftar aturan terkait yang sudah berlaku untuk dilakukan kajian ulang, seperti revisi undang-undang, hingga peraturan menteri dan lainnya. Sementara itu, berdasarkan Pasal 79 ayat 2 UU No.28 Tahun 2009 Soal Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali.
Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Sejalan dengan usulan penghapusan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan tengah menyiapkan standar baru dalam penentuan harga jual tanah maupun bangunan. Nantinya akan ditetapkan harga maksimal atau 'batas atas'.
Ferry menuturkan bahwa standar baru ini akan ditetapkan berupa batas maksimal alias 'batas atas' harga dalam sebuah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Standar baru ini disebut Zonasi Nilai Tanah (ZNT). "Nanti jadi kita (dalam penentuan nilai jual tanah dan bangunan) pakai Zonasi Nilai Tanah namanya," kata Ferry, Selasa (3/2/2015).
Dengan adanya penetapan ini, lanjut Ferry, nantinya tidak boleh ada transaksi jual beli tanah dan bangunan yang harganya melebihi batas atas ZNT. Hal ini berbeda dengan NJOP yang, di mana harga jual bisa berkali-kali lipat di atas NJOP. Kemudian, tambah Ferry, aturan ini juga akan mengandung perbedaan mendasar lain dengan NJOP dalam hal durasi penetapannya. Bila NJOP diterapkan 3 tahun sekali, maka ZNT ini akan ditetapkan setiap setahun sekali.
"Itu akan kita rilis setiap 1 tahun sekali. Nantinya tidak boleh ada transaksi lahan yang nilainya lebih dari harga lahan yang kita tentukan. Jadi yang kita tentukan batas atasnya," tegas Ferry. Namun demikian, menurut Ferry, lantaran usulan ini sangat erat kaitannya dengan produk hukum yang sudah ada, maka pihaknya juga tengah bersiap untuk mengubah dan membuat payung hukum baru. Diperkirakan sedikitnya butuh waktu setahun sebelum akhirnya benar-benar bisa diterapkan.
"Nanti akan dituangkan dalam bentuk Perpres (Peraturan Presiden) atau Permen (Peraturan Menteri) jadi dasar hukum. Sekarang masih usulan. Saat ini masih pematangan di internal Kementerian Agraria dan Tata Ruang lalu kita akan bawa ke Kementerian Keuangan untuk sinkronisasi dengan perangkat hukumnya," papar dia. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan tengah melakukan kajian payung hukum untuk memuluskan rencananya menghapus Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam penentuan harga jual tanah maupun bangunan.
Namun, keberadaan NJOP sudah diatur dalam Undang-undang (UU) sampai Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Dalam UU No 12/1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, disebutkan bahwa NJOP merupakan acuan penetapan pajak. NJOP juga diatur dalam KMK No 523/KMK.04/1998 tentang pembagian klasifikasi NJOP hingga Keputusan Direktur Jenderal Pajak No 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 tentang penetapan besaran NJOP.
Berkenaan dengan penyiapan perangkat payung hukum tersebut, Ferry menjelaskan saat ini pihaknya sedang membuat daftar aturan terkait yang sudah ada sebelumnya untuk dilakukan kajian ulang. "Produk hukum pasti dilakukan. Ini sedang diinventarisasi," ujar Ferry , Selasa (3/2/2015).
Setelah pendataan selesai, sambung dia, nantinya akan dibuatkan rancangan perubahan yang akan disampaikan ke Kementerian Keuangan. Sebelumnya akan disampakan pula ke DPR untuk mendapat masukan. "Nanti akan dituangkan dalam bentuk Perpres (Peraturan Presiden) atau Permen (Peraturan Menteri) jadi dasar hukum. Sekarang masih usulan. Saat ini masih pematangan di internal Kementerian Agraria dan Tata Ruang lalu kita akan bawa ke Kementerian Keuangan untuk sinkronisasi dengan perangkat hukumnya," papar dia.
Ferry memperkirakan proses ini akan berlangsung kurang lebih setahun. Namun hal tersebut sangat bergantung pada kecepatan pembahasan usulan di masing-masing tahap. "Kalau semua lancar, kita usahakan tahun depan sudah bisa diterapkan," sebutnya.
Berkenaan dengan penyiapan perangkat payung hukum tersebut, Ferry menjelaskan saat ini pihaknya sedang membuat daftar aturan terkait yang sudah ada sebelumnya untuk dilakukan kajian ulang. "Produk hukum pasti dilakukan. Ini sedang diinventarisasi," ujar Ferry , Selasa (3/2/2015).
Setelah pendataan selesai, sambung dia, nantinya akan dibuatkan rancangan perubahan yang akan disampaikan ke Kementerian Keuangan. Sebelumnya akan disampakan pula ke DPR untuk mendapat masukan. "Nanti akan dituangkan dalam bentuk Perpres (Peraturan Presiden) atau Permen (Peraturan Menteri) jadi dasar hukum. Sekarang masih usulan. Saat ini masih pematangan di internal Kementerian Agraria dan Tata Ruang lalu kita akan bawa ke Kementerian Keuangan untuk sinkronisasi dengan perangkat hukumnya," papar dia.
Ferry memperkirakan proses ini akan berlangsung kurang lebih setahun. Namun hal tersebut sangat bergantung pada kecepatan pembahasan usulan di masing-masing tahap. "Kalau semua lancar, kita usahakan tahun depan sudah bisa diterapkan," sebutnya.
No comments:
Post a Comment