Akan tetapi, jika dibandingkan dengan HBA Januari 2015 yang berada di level US$ 63,84 per ton harga batubara Indonesia bulan ini meningkat 1,01 persen atau sekitar US$ 0,64 per ton dari awal tahun. Masih tipisnya peningkatan HBA Indonesia tak lepas dari banyaknya pasokan batubara di pasar dunia.
"HBA turun karena penurunan indeks bulanan ICI 0,41 persen, GCNC 12,41 persen, NEX 8,01 persen, dan naiknya Platts 2,66 persen," ujar Direktur Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Tjahjono ketika dihubungi, Rabu (8/4). Bambang memperkirakan, penurunan harga batubara masih akan berlanjut pada bulan-bulan mendatang.
Sekedar informasi, HBA merupakan rata-rata dari empat indeks harga batubara yang umum digunakan di pasar batubara internasional. Empat indeks tersebut meliputi: Indonesia Coal Index, Platts Index, New Castle Export Index, serta New Castle Global Coal Index. HBA sendiri menjadi acuan dengan kesetaraan nilai kalori batubara di level 6.322 kkal/kg Gross As Received (GAR), kandungan air sebesar 8 persen, keberadaan sulphur mencapai 0,8 persen as received (ar), serta kandungan abu (ash) sekitar 15 persen.
Sementara untuk penentuan Harga Patokan Batubara (HPB Maker) Indonesia, didasarkan pada delapan merek yang telah umum diperdagangkan. Kedelapan HBP Maker merek tersebut pada April 2015 meliputi:
- Gunung Bayan I: US$ 69,04 per ton.
- Prima Coal: US$ 70,16 per ton.
- Pinang 6150: US$ 63,73 per ton.
- Indominco IM_East: US$ 52,89 per ton.
- Melawan Coal: US$ 52,00 per ton.
- Enviro Coal : US$ 49,34 per ton.
- Jorong J-1: US$ 39,71 per ton.
- Ecocoal: US$ 36,43 per ton.
Selain delapan merek batubara diatas, tiap bulannya Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM juga menetapkan HPB untuk 66 merek dagang batubara lain seperti: Trubaindo HCV_LS, SKB Coal, KCM Coal, Agathis, dan LIM 3010. Sementara untuk tenor penjualan batubara, dilakukan secara jangka tertentu dengan jangka waktu 12 bulan atau lebih dengan mengacu pada rata-rata 3 HBA terakhir.
Sementara yang menjadi faktor penetapan harga didasarkan pada: fakor pengali 50 persen untuk HPB bulan terakhir, faktor pengali 30 persen untuk HPB satu bulan sebelumnya, dan faktor pengali 20 persen untuk HPB dua bulan sebelumnya.
Guna menyiasati rendahnya harga batubara dunia yang saat ini masih berada di level US$ 60 per ton, sejumlah perusahaan batubara domestik mulai melakukan ekstensifikasi bisnis dengan membidik proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada lebih dari lima perusahaan batubara yang menyampaikan kesediaannya membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di beberapa wilayah.
"Yang sudah sepakat bangun PLTU itu ada PT Indo Tambang Megah, PT Pesona Khatulistiwa Nusantara, PT Adaro Energy Tbk, PT Delma Mining, PT Insani Bara Perkasa dan PT Gunung Bayan," kata Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko di Jakarta, Rabu (11/3).
Dia menerangkan, rencana perusahaan-perusahaan tambang untuk mengembangkan PLTU tidak lain untuk mengoptimalkan pemanfaatan batubara yang diproduksinya di tengah masih lemahnya harga dunia. Perusahaan tambang berharap bisa menerima nilai tambah dengan menjual daya listrik yang dihasilkan pembangkit kepada PT PLN (Persero), ketimbang menjual batubara tersebut dalam bentuk mentah.
"PLTU-nya sendiri akan dibangun di dekat wilayah pertambangan atau sifatnya pembangkit mulut tambang. Selain bisa menekan biaya operasional, daya listrik yang dihasilkan juga bisa digunakan untuk mengoperasikan conveyor di tambang dan kelebihannya di jual ke PLN," jelas Sujatmiko.
Selain itu, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menurutnya juga tengah mengumpulkan data-data terkait cadangan berikut kualifikasi batubara dari seluruh wilayah kerja pertambangan yang ada di Indonesia. Sujatmiko mengungkapkan, nantinya data tersebut akan digunakan PLN untuk menjadi patokan dalam membangun PLTU. "Ini berkaitan dengan jenis boiler pembangkit yang akan dipakai karena saat ini mereka sedang mendesain boiler. Kami juga mendorong agar perusahaan tambang juga tertarik bangun transmisi agar bisa meringankan beban PLN dalam penyediaan listrik di Indonesia," pungkas
Guna mendorong industri pengolahan batubara nasional, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengusulkan pemberian insentif fiskal lain untuk para pelaku usaha yang berminat menanamkan investasinya di bisnis tersebut.
Setelah menyediakan tax holiday, insentif yang dijanjikan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara berupa pengurangan setoran Pajak Penghasilan (PPh) yang diambil dari pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah investasi yang dikeluarkan perusahaan selama enam tahun, atau dikenal dengan tax allowance. “Kami telah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan agar industri pengolahan batubara juga dapat tax incentive seperti yang lain (mineral)," ujar Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko, Rabu (15/4).
Sujatmiko menerangkan, industri pengolahan batubara yang diusulkan instansinya untuk memperoleh fasilitas fiskal tambahan meliputi industri pionir gasifikasi batubara (coal gasification) dan industri pencairan batubara (coal liquefaction). Dengan begitu selain perusahaan yang berminat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian biji mineral mentah (smelter), dua pelaku industri pengolahan batubara tadi juga diusulkan mendapatkan tax allowance.
"Saat ini masih dibahas di Kementerian Keuangan soal besaran skala investasi dan penyerapan jumlah tenaga kerja yang menjadi syarat pemberian insentif. Pada dasarnya ini untuk menarik investasi dan mendorong program hilirisasi di sektor batubara," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu Kementerian ESDM bersama Kementerian Perindustrian telah mengajukan permohonan pemberian insentif fiskal kepada Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro. Hal tersebut bertujuan untuk mendorong program hilirisasi di sektor minerba sesuai dengan program peningkatan nilai tambah seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan menegaskan instansinya masih menyusun revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu yang di dalamnya mencatumkan pemberian tax holiday dan tax allowance bagi beberapa sektor industri termasuk mineral dan batubara.
Akan tetapi untuk mendapatkan tax allowance, investor harus memenuhi sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi, di antaranya batasan mengenai realisasi nilai investasi yang sudah ditanamkan, pertumbuhan sektor industri, hingga besaran penyerapan lapangan kerja dan terkait alih teknologi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melansir Harga Batubara Acuan (HBA) Indonesia untuk penjualan langsung diatas kapal atau free on board (FOB) Januari 2015 turun 1,25 persen ke US$ 63,84 per ton dibandingkan HBA Desember 2014 US$ 64,65 per ton. Jika dibandingkan secara tahunan dengan HBA bulan yang sama pada 2014 sebesar USD 81,90 per ton, maka HBA Januari 2015 anjlok sekitar 22 persen atau sekitar US$ 18,06 per ton.
Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Bob Kamandanu mengaku sudah menduga pelemahan harga seperti ini akan terjadi. “Apalagi ketika pemerintah tetap berencana meningkatkan volume produksi batubara nasional tahun ini untuk menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar Bob di Jakarta, Kamis (12/2).
Sesuai hukum permintaan, ketika permintaan rendah sementara pasokan tetap meningkat akibat kebijakan pemerintah meningkatkan produksi batubara maka harga akan melemah. Bob memperkirakan rata-rata HBA tahun ini akan berada di level US$ 60 sampai US$ 65 per ton. Angka ini lebih rendah 15 persen dibandingkan tahun lalu dimana rata-rata HBA berada di level USD 72,62 per ton.
"Kalau mau menjaga harga pilihannya memang harus menekan produksi dan bekerjasama dengan negara-negara produsen batubara. Ini dilakukan untuk mengendalikan pasokan batubara dunia," katanya.
Akhir tahun lalu Bob sempat mengusulkan kepada pemerintah agar mau memangkas target produksi sekaligus mengizinkan anggota APBI untuk melakukan kartel batubara dengan negara produsen lain. Namun upaya tersebut tidak ditanggapi pemerintah yang tetap memilih menaikkan angka produksi menjadi 425 juta ton dari realisasi produksi 2014 sebanyak 420 juta ton. (Baca juga: Pengusaha Minta Izin Jokowi Lakukan Kartel Batubara).
Nilai HBA sendiri merupakan rata-rata dari empat indeks harga batubara yang umum digunakan dalam perdagangan batubara dunia. Keempat indeks itu meliputi Indonesia Coal Index, Platts Index, New Castle Export Index, dan Newcastle Global Coal Index. HBA menjadi acuan harga batubara dengan kesetaraan nilai kalori batubara 6.322 kkal per kilogram Gross As Received (GAR), kandungan air (total moisture) 8 persen, kandungan sulphur 0,8 persen as received (ar), dan kandungan abu (ash) 15 persen ar.
HBA kemudian dihitung dari Harga Patokan Batubara (HPB) yang dipengaruhi kualitas batubara meliputi: nilai kalor batubara, kandungan air, kandungan sulphur, dan kandungan abu sesuai dengan merek dagang batubara yang disebut HPB Maker. HPB Maker sendiri terdiri dari delapan merek dagang batubara yang sudah umum dikenal dan diperdagangkan.
HPB Marker Januari 2015 untuk 8 merek dagang utama dalam USD/Ton adalah sebagai berikut :
- Gunung Bayan I : 68,35
- Prima Coal : 69,52
- Pinang 6150 : 62,78
- Indominco IM_East : 52,38
- Melawan Coal : 51,54
- Enviro Coal : 48,93
- Jorong J-1 : 39,38
- Ecocoal : 36,14
No comments:
Post a Comment