Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 mencapai Rp 2.000 triliun. Namun dana sebesar itu belum cukup untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan mulai dari jalan, bandar udara, pelabuhan, kereta api, irigasi, dan kebutuhan publik lainnya.
"Membangun semua infrastruktur itu nggak akan bisa hanya melalui APBN. Tidak akan cukup uang pemerintah," ungkap Emil Elestianto Dardak, Executive Vice President PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) , Sabtu (3/1/2015).
Dari data Kementrian Perhubungan (Kemenhub), kata Emil dibutuhkan Rp 1.520 triliun sampai dengan 2019. Khusus perhubungan laut sekitar Rp 446 triliun. APBN hanya sanggup mendanai Rp 56,7 triliun, APBD Rp 27,7 triliun dan BUMN Rp 118,7 triliun.
Emil menambahkan, ketika infrastruktur dibangun, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Adalah pemeliharaan, pemantauan dan efek investasi untuk masyarakat. "Bila satu jalan dibangun pemerintah gunakan APBN. Tentu tidak hanya selesai disitu saja. Harus dipikirkan bagaimana pemeliharaannya, kesiapan pemerintah untuk memantau infrastruktur jangka panjang dan dampaknya. Itu juga butuh biaya besar," terangnya.
Maka solusinya menurut Emil adalah dengan penerapan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP). Emil mengakui skema ini tidak berjalan baik dalam beberapa tahun ke belakang. Apalagi untuk proyek besar seperti PLTU 2 x 1.000 MW Batang, Jawa Tengah.
"Infrastruktur sekarang yang jalan itu hanya yang gampang-gampang saja, yang susah itu belum jalan. Tapi kan bukan salahkan modelnya tapi prosesnya," ujar Emil. Salah satunya pada pengadaan lahan. Banyak proyek yang belum ada kesiapan lahan, namun sudah diberikan kepada investor.
"Lahan belum ada kepastian, tapi kerjasama proyek berjalan. Akhirnya proyek tidak jalan dan banyak orang menganggap KPS tidak berhasil. Padahal sebenarnya kalau juga pakai APBN, proyek itu mandek," tutupnya.
Kerjasama pemerintah swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP) dapat menjadi solusi pembangunan infrastruktur di tengah keterbatasan dana pemerintah. Dari skema ini, dana Rp 1 triliun yang dikeluarkan pemerintah dapat menarik investor dengan dana 10 kali lipat.
Executive Vice President PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) Emil Elestianto Dardak menjelaskan, ruang fiskal untuk pembangunan sekarang sudah cukup besar. Namun penggunaannya harus cermat, jangan sampai dana menjadi terbuang percuma.
Misalnya tahun ini ada dana sekitar Rp 400 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Dengan perhitungan akan terus meningkat selama 4 tahun yang akan datang. Pemerintah menetapkan arah prioritas berikut pembagian proyek infrastruktur yang bisa dikerjakan lewat APBN dan mana yang tidak.
"Ada proyek yang harus lewat APBN karena tidak mungkin swasta mau. Misal waduk, irigasi," ungkapnya , Sabtu (3/1/2015). Proyek di luar APBN, pemerintah bisa memberikan kepada swasta. Tapi tentunya tidak mungkin proyek diberikan begitu saja. Menurut Emil, harus tetap ada kompetisi bagi investor untuk mendapatkan proyek.
Langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah adalah menyiapkan dana untuk pra studi kelayakan ataufeasibility study (FS). Bisa melalui Kementerian Lembaga (KL) teknis terkait atau melalui penunjukan kepada BUMN.
"Jadi investor sudah ada gambaran proyek yang akan dibangun nanti seperti apa," jelasnya. Seperti skema pada pembangunan Tol Trans Sumatera. Di mana dengan menunjuk satu BUMN dan kemudian diberikan kewenangan untuk bekerjasama dengan investor lainnya.
"Tetap dana awal diberikan kepada BUMN. Tapi misalnya dengan memberikan Rp 1 triliun itu bisa menarik dana dari investor 5 kali atau 10 kali lipat," kata Emil.
Pemerintah juga bisa mengoptimalkan instansi yang ada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Seperti PT Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Pusat Penjaminan Infrastruktur (PII). "Memperkuat modal SMI, PII dan PIP dan dalam bentuk subsidi proyek yang sifatnya parsial," terang anak dari mantan wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak.
No comments:
Post a Comment