Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya mampu mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp 981,9 triliun atau 91,5 persen dari target Rp 1.072 triliun di APBNP 2014. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan shortfall pajak Rp 90 triliun disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi, pelemahan impor, dan penurunan harga minyak sawit (CPO) di pasar internasional.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany sepakat dengan wacana penaikan remunerasi pegawai di instansinya. Ini lebih mendesak dibanding mengupayakan pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangan. Alasannya, sudah lazim di banyak negara gaji pegawai pajak lebih tinggi dibandingkan Pegawai Negeri Sipil lainnya. Fuad lantas mencontohkan kebijakan di Malaysia yang memberikan remunerasi tinggi bagi petugas pajak.
"Di mana-mana remunerasi pegawai pajak lebih tinggi. Seperti di Malaysia, dia gajinya lebih tinggi dibanding pegawai negeri yang lain. Dan statusnya pun bukan pegawai negeri," ujarnya di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (16/7).
Ada alasan khusus mengapa gaji petugas pajak dibuat lebih besar. Soalnya, mereka bertanggung jawab mencari mayoritas penerimaan negara. Sumber daya manusia bekerja di Ditjen Pajak juga sepatutnya yang terbaik. "Ditjen Pajak ini pusat pendapatan lho. Disuruh cari Rp 1.000 triliun lebih, kalau gajinya kecil mana mau," kata Fuad.
"Hampir semua jenis penerimaan perpajakan lebih rendah dari tergetnya. Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi pada sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan," jelas Bambang dalam jumpa pers di kantornya, Senin (5/1). Selain itu, Ditjen Pajak tetap harus di bawah menkeu agar ada koordinasi buat mencapai target penerimaan APBN.
Dalam dokumen pemaparannya, Menkeu menjelaskan penyumbang terbesar shortfall adalah pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 70,9 triliun, dengan hanya membukukan penerimaan Rp 404,7 triliun atau 85,1 persen dari target Rp 475,6 triliun. Kemudian diikuti oleh pajak penghasilan (PPh) non-migas yang meleset sebesar Rp 55,9 triliun, dengan pencapaian sebesar Rp 460,1 triliun atau 94,7 persen dari target Rp 486 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan negara yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada 2014 sebesar Rp 161,63 triliun atau 93,04 persen dari target APBNP Rp 173,73 triliun. Melemahnya kinerja ekspor dan impor ditengah penurunan harga komoditas dunia menjadi penyebab melesetnya realisasi penerimaan kepabenaan.
Secara kumulatif, realisasi pendapatan negara sebesar Rp 1.537,2 triliun atau 94 persen dari target APBNP 2014 yang sebesar Rp 1.635,4 triliun. Sementara anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk belanja negara mencapai Rp 1.764,6 triliun atau 94 persen dari pagu Rp 1.876,9 triliun.
Dengan demikian, defisit APBNP 2014 menjadi sebesar Rp 227,4 triliun atau 2,26 persen PDB. Angka tersebut lebih rendah dari rencana semula 2,4 persen dari PDB atau Rp 241,5 triliun.
No comments:
Post a Comment