PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk mencatatkan kerugian sebesar Rp 90,2 miliar di sepanjang kuartal I 2015. Padahal, kinerja perusahaan perkebunan yang terafiliasasi dengan Grup Bakrie itu masih mengukir laba sekitar Rp 406,2 miliar di periode yang sama tahun lalu.
Meski mengalami kerugian, manajemen Bakrie Plantation pun sesumbar dan tetap optimis kinerja perseroan akan membaik hingga akhir tahun nanti.
“Apalagi berdasarkan siklus (dimana) produksi sawit biasanya mulai meningkat pada kuartal kedua dan mencapai puncaknya di kuartal terakhir setiap tahun. Kami optimis (kinerja) tahun ini tumbuh dibanding 2014,” kata Direktur Investor Relation Bakrie Plantation, Andi W Setianto seperti yang dikutip dari keterangan resminya, Jumat (1/5).
Disanyilir kuat, anjloknya laba emiten bertiker UNSP ini tak lepas dari penurunan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Disamping itu, faktor yang juga menyebabkan kinerja keuangan perseroan negatif berangkat dari buruknya kondisi cuaca yang mempengaruhi produksi tandan buah segar (TBS) Barie Plantation.
Ini terlihat dari capaian penjualan bersih perseroan kuartal I 2015 yang hanya mencapai Rp 511,1 miliar, turun 22,4 persen dari periode yang sama tahun lalu di level Rp 659 miliar. Selain itu, beban keuangan juga tercatat naik dari Rp 96,38 miliar menjadi Rp 133,22 miliar hingga akhir Maret 2015. “Kami bekerja keras mengatasi kondisi air di kebun akibat kemarau panjang tahun lalu dengan sebaik-baiknya. Hasilnya kami harapkan bisa terlihat di kuartal-kuartal berikutnya,” ujar Andi.
Demi menjaga kinerja keuangannya hingga akhir tahun ini, manajemen Bakrie Plantation telah membentuk usaha patungan bernama PT ASD-Bakrie Oil Palm Seed Indonesia. Selain itu, manajemen juga telah melakukan inovasi melalui pengembangan bibit unggul buah sawit.
Ditargetkan, upaya pengembangan bibit unggul mampu menghasilkan 40 ton TBS per ha (hektar) dari sebelumnya di kisaran 25 sampai 30 ton per ha. “Kami akan kembali bangkit menemukan momentum yang terbaik,” tambah Direktur Utama Bakrie Plantation, M. Iqbal Zainuddin.
Perusahaan tambang batubara milik grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk mengalami penurunan laba usaha mencapai 66,27 persen sejak awal tahun lalu hingga kuartal III 2014. Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan Bumi Resources dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada Senin (19/1), laba usaha perseroan per September 2014 anjlok menjadi US$ 72,79 juta dari periode yang sama 2013 sebesar US$ 215,78 juta.
Adapun anjloknya laba usaha tersebut terjadi karena menyusutnya perolehan pendapatan sebesar 17,42 persen menjadi US$ 2,19 miliar dari US$ 2,65 miliar. Sementara itu beban pokok pendapatan turun 15,48% menjadi US$1,77 miliar dari US$2,09 miliar. Lebih lanjut, hal itu mengakibatkan laba kotor perseroan merosot 24,65 persen menjadi US$ 420,17 juta dari US$ 557,59 juta. Sementara itu, beban usaha naik 1,63 persen menjadi US$ 347,37 juta dari US$ 341,81 juta.
Namun, di sisi lain total rugi bersih perseroan selama sembilan bulan pertama 2014 tercatat menyusut 86,71 persen menjadi US$ 54,95 juta dari US$ 413,56 juta pada periode yang sama 2013. Hal itu terjadi karena danya perolehan laba dari pelepasan investasi pada anak usaha mencapai US$ 949,52 juta. Dari sisi internal, sebelumnya, pengalihan kepemilikan saham PT Bumi Resources Tbk di PT Bumi Resources Mineral Tbk masih terganjal karena belum terdapat putusan dari Pengadilan Singapura terkait restrukturisasi utang anak usahanya.
Entitas tersebut adalah Bumi Capital Pte Ltd, Bumi Investment Pte Ltd, dan Enercorp Resources Pte Ltd. Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (7/1), perseroan menuturkan pihaknya masih belum bisa melakukan transaksi pengalihan saham kepada China Investment Corporation (CIC).
Perseroan menyatakan hal itu terjadi karena Pengadilan Singapura telah menetapkan moratorium yang melarang Bumi Resources memindahkan aset ataupun bertransaksi sendiri-sendiri dengan individu tertentu hingga mendapat persetujuan dari mayoritas kreditur
PT Bakrie Telecom Tbk., perusahaan telekomunikasi milik grup Bakrie, mencatatkan performa yang semakin buruk pada 2014. Sepanjang tahun lalu rugi bersih perseroan tercatat Rp 2,87 triliun, naik 8,7 persen dari Rp 2,64 triliun pada 2013.
Jebloknya kinerja Bakrie Telecom yang dikenal dengan produk Esia tersebut, disebabkan oleh pendapatannya yang anjlok 13 persen menjadi Rp 1,8 triliun dari sebelumnya Rp 2,07 triliun. Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, pendapatan jasa telekomunikasi jeblok 42,3 persen menjadi Rp 1,27 triliun, sementara pendapatan jasa interkoneksi turun 22 persen menjadi 184,2 miliar.
Hal itu ditambah dengan beban pendapatan yang naik 3 persen menjadi Rp 2,13 triliun dari sebelumnya Rp 2,07 triliun. Karena hal itu, perseroan menanggung rugi usaha Rp 947,55 miliar. Padahal, dalam tahun sebelumnya perseroan masih mencatatkan laba usaha Rp 3,6 miliar. Total aset Bakrie Telecom di sepanjang 2014 sebesar Rp 7,59 triliun, turun dari sebelumnya Rp 9,13 triliun. Hal itu juga diikuti penaikan liabilitas atau kewajiban perseroan, menjadi Rp 11,46 triliun, naik dari sebelumnya Rp 10,13 triliun.
Bakrie Telecom mulai mencatatkan rugi bersih sejak 2011 dan mencetak performa ekuitas buruk sejak 2013. Pada 2011 perseroan merugi Rp 782,7 miliar, kemudian utang kian melonjak menjadi Rp 3,13 triliun pada 2012 dan Rp 2,64 triliun pada 2013. Namun, pada tiga bulan pertama 2014, laporan perusahaan keuangan sempat membukukan laba bersih Rp 210 miliar karena terdongkrak selisih kurs.
Atas dasar hal tersebut, sebelumnya Bakrie Telecom mengurangi jumlah karyawan hingga 28 persen atau 400 dari 1.400 total karyawannya untuk menekan biaya operasional. Manajemen menyatakan pemecatan pegawai sebagai strategi perusahaan agar operasional menjadi lebih efektif. Pengurangan jumlah karyawan dinilai merupakan bagian dari langkah efisiensi perusahaan agar operasional lebih efektif.
Perseroan juga diketahui memiliki total kewajiban utang senilai Rp 11,3 triliun. Beberapa di antaranya adalah, utang biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan universal service obligation (USO) senilai Rp 1,26 triliun, utang usaha Rp 2,4 triliun, utang tower provider Rp 1,3 triliun, dan utang dana hasil wesel senior Rp 5,4 triliun.
No comments:
Post a Comment