Thursday, May 7, 2015

Dimata Internasional Perusahaan Indonesia Gemar Berhutang

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengungkapkan, di mata internasional, Indonesia terkenal sebagai negara yang perusahaan swastanya dan Badan Usaha Milik Negaranya (BUMN) gemar mengajukan utang.  Hal tersebut diungkapkan Agus lantaran utang swasta dan BUMN sudah sangat besar. "Indonesia memiliki ciri khas bahwa dimata dunia, Indonesia itu termasuk negara yang perusahaan-perusahaanya, termasuk BUMN-nya memiliki utang dalam valuta asing yang besar," ujar Agus, Kamis (7/5/2015).

Saat ini kata Agus, utang swasta dan BUMN sudah mencapai angka 162 miliar dollar AS. Padahal pada tahun 2009 lalu, utang swasta dan BUMN hanya 20 miliar dollar AS. Ia juga nampak khawatir dengan besaran utang tersebut. Pasalnya sebagain besar utang swasta dan BUMN itu adalah utang jangka pendek.

Selain itu, 74 persen utang itu juga tak dilakukan lindung nilai atau hedging. Dampak buruknya, jika nilai tukar rupiah terus merosot dan dollar semakin perkasa, maka angka utang bisa terkena dampak fluktuasi mata uang. Kondisi tersebut membuat Agus teringat dengan situasi 1998 silam.

Saat itu kata dia, utang swasta dan BUMN besar tetapi tak melakukan lindung lindung nilai. Akibatnya, saat rupiah rrontok perusahaan terkena imbas besar. "Pengalaman kita pada tahun 1998 lalu, perusahaan kita yang pendapatannya rupiah, berutang dalam valuta asing itu tidak lakukan lindung nilai tapi juga pengembaliannya pendek yaitu 1 sampai 3 Tahun. Sedangkan pinjaman pemerintah itu 20 tahun. Jadi itu sangat berisiko," kata Agus.

Bank Indonesia (BI) menyarankan semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan lindung nilai atau hedging, saat melakukan pinjaman atau utang dalam dollar. Sebab, BI menyatakan risiko rugi besar bisa terjadi apabila BUMN tak lakukan hedging. "Yang kita inginkan, jangan sampai BUMN kemudian jadi rugi besar hanya karena tidak lakukan pengelolaan risiko nilai tukar (dengan hedging)," ujar Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo di Kantor BI, Jakarta, Kamis (7/5/2015).

Namun, meski menyarankan BUMN untuk hedging, Agus tak memiliki target berapa BUMN yang kemudian mengambil keputusan tersebut. Saat ini, lanjut Agus, ada 3 BUMN yang sudah melakukan hedging, yaitu PLN, Garuda, dan Krakatau Steel. "Tapi kita mau meyakinkan semua perusahaan khususnya BUMN yang punya tagihan dalam valuta asing harus bisa mengelola risiko dengan baik," kata dia. Sebelumnya, Agus tampak khawatir dengan besaran utang tersebut. Ini disebabkan sebagian besar utang swasta dan BUMN itu adalah utang jangka pendek. Selain itu, 74 persen utang itu juga tak dilakukan lindung nilai atau hedging.

Dampak buruknya, jika nilai tukar rupiah terus merosot dan dollar semakin perkasa, maka utang bisa terkena dampak fluktuasi mata uang. Kondisi tersebut membuat Agus teringat dengan situasi 1998 silam. Saat itu kata dia, utang swasta dan BUMN begitu besar tetapi tak melakukan lindung nilai. Akibatnya, saat rupiah rontok perusahaan terkena imbas besar.

"Pengalaman kita pada tahun 1998 lalu, perusahaan kita yang pendapatannya rupiah, berutang dalam valuta asing itu tidak lakukan lindung nilai tapi juga pengembaliannya pendek, yaitu 1 sampai 3 tahun. Sedangkan pinjaman pemerintah itu 20 tahun. Jadi itu sangat berisiko," kata Agus.

No comments:

Post a Comment