Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih mengatakan pertumbuhan ekonomi quartal to quartal telah dua kali mengalami minus berturut-turut. Kuartal keempat tahun 2014 minus 2,1 persen dan kuartal pertama tahun ini minus 0,18 persen. Menurut dia, jika kondisi ini berlangsung sekali lagi maka Indonesia memasuki masa resesi secara textbook. Ini artinya ekonomi melambat di bawah garis 0 persen.
"Ini tidak lagi lampu kuning, tapi lampu merah. Apa perlu kita minus 3 kali baru diperbaiki,enggak usah menunggu bahaya lagi," katanya. Lana menambahkan, pertumbuhan ekonomi secara kuartal lebih realistis dibanding year on year karena lebih menunjukkan kondisi yang sebenarnya. Anjloknya ekonomi dua triwulan berturut-turut ini perlu diwaspadai pemerintah.
Dia berkata, ekonomi mengalami penurunan sejak Bank Indonesia mengumumkan BI rate tahun 2013 yang didesain untuk memperlambat ekonomi. Namun perlambatan ekonomi menjadi lebih dalam karena ada gangguan dalam konsumsi masyarakat, seperti kenaikan harga barang-barang yang di antaranya adalah tarif bahan bakar minyak (BBM )dan elpiji.
Untuk memperbaiki kondisi ini, kata dia, langkah yang paling realistis adalah pemerintah harus memperbaiki konsumsinya. Yakni, dengan cara mengontrol pengeluarannya sendiri. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, melemahnya pertumbuhan ekonomi hingga 4,71 persen pada kuartal I disebabkan karena menurunnya daya beli masyarakat. "Ya itu kan sejak awal sudah disampaikan, penurunan daya beli akan berimbas. Itu pasti," kata Kalla, ditemui di kantornya, Selasa, 5 Mei 2015. Untuk itu, pemerintah akan membangun fasilitas bagi masyarakat dengan kredit jangka panjang untuk kembali menggenjot daya beli. "Misalnya program sejuta rumah."
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 sebesar 4,71 persen. Angka ini turun 0,5 persen dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,21 persen. “Jika dibandingkan dengan kuartal IV 2014, angka pertumbuhan ekonomi turun 0,18 persen,” kata Kepala BPS Suryamin.
Adapun Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pelemahan terjadi karena pemerintah masih melakukan proses konsolidasi pada enam bulan pertama. Sebab lain adalah kondisi ekonomi global yang sedang lesu. Namun dia yakin pada kuartal tiga dan empat mendatang, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik. Apalagi dana untuk warga kurang mampu juga sudah cair. "Mungkin pertumbuhan ekonomi tidak sampai 5,8 persen tapi sekitar 5,4 atau 5,6 persen," kata Luhut.
Selain itu, pemerintah juga akan mengucurkan dana desa sebesar Rp 60 triliun. "Dana Rp 29 triliun untuk jalan sudah cair, untuk perhubungan Rp 45 triliun juga," kata dia. Apalagi beberapa proyek mulai dikerjakan pada kuartal ini. Modal tersebutlah yang menurutnya bisa menjadi sinyal positif membaiknya perekonomian Indonesia. Apalagi, penerimaan pajak juga cenderung membaik.
Kendati mayoritas kinerja perusahaan nasional mengalami perlambatan, Kalla itu tetap optimis bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 2015 sesuai target 5,7 persen. Kepala BPS Suryamin menjelaskan melambatnya pertumbuhan ekonomi sejumlah negara yang menjadi mitra dagang Indonesia turut berdampak pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Seperti Cina yang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonominya dari 7,4 persen menjadi 7 persen, dan Singapura yang mengalami perlambatan ekonomi dari 4,9 persen menjadi 2 persen.
Lana mencontohkan dengan mempercepat realiasasi penyerapan anggaran dan percepatan pembangunan infrastruktur. "Itu yang bisa dikontrol secara langsung." Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan sebenarnya pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh 5 persen tanpa campur tangan pemerintah. Saat ini pertumbuhan sektor industri mencapai 3,87 persen. "Pemerintahenggak hanya tidur tetapi ngerecokin," katanya.
Enny menambahkan, bentuk gangguan pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi yang ikut memperlemah sektor konsumsi adalah kenaikan harga BBM dan elpiji. Kenaikan tersebut membuat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat anjlok. Selain itu adanya high cost economy yang menyebabkan kinerja sektor riil turun. Diantarahigh cost tersebut adalah, suku bunga yang tinggi, mahalnya biaya transportasi dan logistik, kenaikan upah dan depresiasi rupiah. "Itu semua menjadi tekanan dunia usaha kita," katanya.
No comments:
Post a Comment