Anda yang berinvestasi di pasar modal pasti mengenal istilah pasar perdana dan pasar sekunder. Pasar perdana adalah ketika investor membeli saham pada saat belum diperdagangkan alias membeli saham IPO (initial public offering). Sedangkan pasar sekunder adalah tempat membeli ketika saham sudah diperdagangkan.
Pertanyaannya, lebih menguntungkan mana, membeli saham di pasar perdana atau di pasar sekunder? Dua-duanya bisa menguntungkan, tetapi dua-duanya juga bisa merugikan. Kok bisa? Sangat bisa karena tidak ada garansi bahwa membeli saham di pasar perdana pasti menguntungkan. Bahkan, di awal tahun 2011, tiga emiten baru yang listing di pasar modal semuanya mengalami penurunan harga tatkala mulai diperdagangkan.
Begitu pula dengan investor yang membeli saham di pasar sekunder awal tahun 2011, boleh jadi saat ini menanggung loss atau paling tidak potensial loss karena saham yang dibeli mengalami penurunan harga, seiring dengan penurunan indeks yang semula sempat berada di kisaran 3.700 kini anjlok ke kisaran 3.400-3.500.
Beberapa aspek
Bagi Anda yang ingin membeli saham di pasar perdana, ada beberapa aspek yang sebaiknya menjadi perhatian, baik berkaitan dengan saham yang hendak dibeli maupun terkait dengan diri Anda sendiri selaku investor atau calon investor. Apa maksudnya?
Kenali tujuan dan motif diri Anda sebelum membeli saham. Memperoleh capital gain atau dividen adalah satu soal. Namun, yang jauh lebih penting adalah apakah motif Anda membeli saham sebagaimana layaknya trader, yang beli hari ini, jual besok atau memang berharap memperoleh keuntungan dalam jangka panjang, paling tidak dalam kurun waktu satu tahun.
Jika Anda hendak membeli saham di pasar perdana, lupakan motif trading karena saham yang hendak Anda beli belum memiliki historical harga. Yang ada adalah asumsi apakah harga yang ditetapkan ada dalam kisaran wajar, mahal, atau murah. Banyak metode yang bisa dipakai sebagai ukuran. Yang paling populer adalah pendekatan PER (price earning ratio). Semakin rendah PER-nya, relatif semakin murah harga saham tersebut. Tetapi, dalam realitasnya, tidak ada jaminan bahwa PER yang rendah akan membuat harga saham meningkat tatkala diperdagangkan.
Kenapa? Karena naik turunnya harga saham bukan sekadar bergantung pada PER, melainkan demand dan supply di pasar itu sendiri. Benar, ada istilah oversubscribe dan undersubscribe atau juga fully subscribe ketika saham mulai ditawarkan kepada publik. Artinya, permintaan terhadap saham yang ditawarkan bisa lebih besar, lebih kecil, atau sama seperti jumlah yang ditawarkan. Tetapi, permintaan tersebut belum tentu direalisasikan oleh calon investor. Belum lagi kalau permintaan tersebut bersifat ”semu”. Jadi sekadar untuk mendapatkan data ”seolah- olah” oversubscribe. Oleh karena itu, calon investor sebaiknya tidak begitu saja percaya pada informasi kelebihan permintaan.
Atas dasar situasi seperti itu, jika Anda memang ingin membeli saham di pasar perdana, yang harus menjadi acuan adalah kondisi fundamental dan prospek dari perusahaan yang menawarkan sahamnya.
Kenapa begitu? Karena penurunan ataupun kenaikan harga saham di pasar juga dipengaruhi oleh faktor sentimen. Lebih dari itu juga ada faktor nonteknis, misalnya saham itu ”dikerjai” oleh pihak tertentu. Pihak tersebut sengaja menurunkan harga sehingga investor lain menjual saham yang dipegangnya. Dus, kalau Anda menghadapi hal tersebut, mestinya tidak serta-merta menjual saham Anda atau melakukan cut loss, tetapi Anda bisa membeli lagi saham yang sama sehingga cost rata-rata Anda menjadi lebih rendah. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, malah Anda bisa berpeluang memperoleh potential gain. Namun, semua itu bisa terjadi jika prinsip Anda membeli saham di pasar perdana bukan sebagai trader, melainkan sebagai investor.
Fundamental
Bagaimana dengan pasar sekunder? Triknya tentu berbeda dengan jika membeli saham di pasar perdana. Faktor fundamental dari saham yang Anda bidik tetap menjadi pertimbangan. Artinya, berapa PER dari saham tersebut tidak bisa diabaikan. Sebab, kalau PER-nya sudah terlalu tinggi, investor lain yang sudah memegang saham dimaksud bertendensi untuk merealisasikan potential gain yang sudah dipegang. Dus, tetap saja, meskipun di pasar sekunder, carilah saham-saham yang PER-nya masih rendah. Itu prinsip dasarnya.
Setelah Anda dapatkan kandidat saham yang hendak dibeli, tentu juga mesti dicermati bagaimana pergerakan harga saham itu sendiri dalam kurun waktu enam bulan terakhir atau malah setahun terakhir. Berapa pencapaian harga tertinggi dan berapa pula terendah. Lalu berapa harga saat ini. Kemudian bagaimana volume transaksi dari saham tersebut. Jika harganya melonjak-lonjak, naik turun dengan cepat, sementara volume transaksinya relatif kecil, boleh dibilang, itu adalah saham ”gorengan”. Jangan sentuh saham semacam itu.
Lepas dari volume transaksi yang besar adalah kapan masuk dan kapan keluar dari saham yang Anda beli juga menjadi elemen yang berpengaruh terhadap keberhasilan ataupun kegagalan. Jika dana yang Anda ”mainkan” untuk membeli saham jumlahnya tidak signifikan, akan jauh lebih baik Anda ikuti pergerakan pasar. Artinya, beli ketika harga saham mulai bergerak ke atas, dan segera jual kalau sudah memperoleh gain. Tidak perlu besar, yang penting dapat gain. Itulah prinsip trader. Tetapi, jika Anda ingin berperan sebagai investor, pembelian saham di pasar sekunder malah mesti dilakukan ketika harga saham itu jatuh. Beli di saat murah, pegang dalam kurun waktu tertentu, baru dijual kembali. Sepanjang fundamental saham tersebut bagus, tidak perlu ada rasa khawatir.
Selamat mencoba.