Friday, February 11, 2011

Belanja Modal BUMN Tahun 2011 Akan Mencapai 380 Triliun

Anggaran belanja modal yang telah disiapkan seluruh badan usaha milik negara tahun 2011 mencapai 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp 380 triliun. Anggaran ekspansi usaha tersebut diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan program koridor ekonomi.

Program tersebut akan diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada April 2011. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan hal tersebut di Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/2) di sela-sela pertemuan retret (tafakur untuk pendalaman) yang mengumpulkan sekitar 67 BUMN dan 13 menteri.

Menurut Hatta, poin utama dalam pertemuan tersebut adalah mengarahkan gerak investasi seluruh BUMN ke program utama yang sedang diusung pemerintah, yakni Visi 2025, yang disiapkan dalam sebuah rencana induk atau master plan.

Saat ini seluruh BUMN memiliki belanja operasional yang jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja modalnya.

"Operational expenditure (belanja operasional) BUMN mencapai Rp 1.000 triliun, tetapi capital expenditure (belanja modal) mereka masih kecil, yakni Rp 290 triliun. Dalam retret ini kami merekomendasikan agar BUMN menekan operational expenditure (belanja opersional) dan lebih meningkatkan capital expenditure. Hanya dengan cara ini kontribusi BUMN pada pembangunan dapat meningkat,” ujarnya.

Kelemahan pembangunan

Sementara itu, Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung menyebutkan, jika BUMN dapat meningkatkan belanja modal ke level Rp 310 triliun saja, investasi yang berasal dari dalam negeri akan meningkat signifikan.

Langkah itu akan memicu bertambahnya lapangan kerja baru. ”Sudah saatnya BUMN harus bangga pada kemampuan mereka. Kami saja yang swasta bangga membangun negara ini, masak BUMN tidak bangga juga,” ujar Chairul Tanjung.

Ketua Komite Inovasi Nasional (KIN) Zuhal mengatakan, kelemahan pembangunan ekonomi Indonesia adalah munculnya ketidakselarasan antara pemikiran pakar ekonomi dan pakar teknologi.

Pemisahan ini kemudian memunculkan Wijoyonomik atau Habibinomik yang memecah belah kedua hal yang seharusnya menyatu itu. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga belum didukung oleh kreativitas pelakunya, termasuk belum masuk dalam rencana induk yang sedang disusun pemerintah.

Atas dasar itu, setiap inovasi cenderung belum ekonomis karena belum dilibatkan ketika pelaku usaha memasuki pasar. Akibatnya, investasi yang mencapai 150 miliar dollar AS per tahun pun bisa hilang tanpa meninggalkan manfaat maksimal.

”Kita bisa memulai dari hal-hal yang dekat terlebih dahulu. Carrefour yang dikelola Pak Chairul Tanjung, misalnya, dengan satu aturan, pemerintah bisa mendorong Carrefour supaya menyediakan 70 persen tempatnya untuk produk inovatif nasional,” ujar Zuhal.

No comments:

Post a Comment