Kondisi ini disayangkan karena sebenarnya pangsa pasar iklan di Bali sangat baik dan potensinya besar. Jika hal ini terus dibiarkan, bisa menyebabkan persaingan tidak sehat. Selain itu, kondisi ini juga merugikan negara karena para pekerja asing dan perusahaan asing itu tidak terdaftar sebagai wajib pajak.
”Kami ini justru menyayangkan pangsa pasar yang besar dicaplok perusahaan iklan ilegal, dan itu milik orang asing. Tidak hanya kami yang rugi, pemerintah juga sangat dirugikan karena mereka tidak terkena pajak,” kata Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Bali Roy Wicaksono di Denpasar, Jumat (11/2).
Roy menambahkan, soal pekerja asing dan pemilik usaha periklanan asing itu merupakan masalah serius karena trennya perusahaan asing ilegal ini menjamur, seperti di Bali.
Karena itu, dia berharap pemerintah daerah melakukan pendataan dan penertiban, khususnya terhadap perusahaan periklanan ilegal. Alasannya, perusahaan itu pun banyak mempekerjakan wisatawan yang semestinya hanya berwisata.
Pengusaha rumah iklan KIVM Taufiq TQ membenarkan adanya persaingan tidak sehat sekitar lima tahun terakhir. Ia pun mengaku tak berdaya bagaimana meyakinkan pemerintah agar memerhatikan hal tersebut.
”Harga bersaing karena para perusahaan iklan ilegal ini juga tidak banting harga. Mereka mempekerjakan pekerja asing karena calon pengiklan di Bali ini juga banyak orang asing sehingga mereka merasa nyaman dengan sesama orang asing. Padahal, secara kualitas dan kreativitas (kami) tidak kalah,” katanya.
Mukernas PPPI
Sementara itu, Bali kembali akan menjadi tuan rumah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) X PPPI pada 19 Februari. Mukernas yang digelar di The Patra Bali itu rencananya dihadiri 300 anggotanya se-Indonesia, dengan mengusung tema ”Reborn, Rebranding Association, Reinforcing Industry, Reformatting Businness”.
Rencananya akan ada penyerahan Anugrah Pariwara kepada CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo dari Jakarta dan Anugrah Darmanyata Adi Koto dari Sumatera Barat.
No comments:
Post a Comment