Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X Subiyono menyampaikan itu, Selasa (1/2), dari Surabaya, Jawa Timur, menanggapi berita terkait inefisiensi perusahaan gula badan usaha milik negara (BUMN) yang mencapai Rp 4,2 triliun per tahun.
Menurut Subiyono, membandingkan pabrik gula swasta di luar Jawa dengan pabrik gula BUMN yang umumnya di Jawa kurang tepat. Hal itu mengingat hampir seluruh area pabrik gula swasta merupakan lahan hak guna usaha. Sementara lahan pabrik gula BUMN hanya 10 persen yang hak guna usaha. Selebihnya 90 persen lahan petani sehingga sangat terkait dengan budidaya petani/rakyat.
”Tata kelola seperti itu jelas akan lebih menguntungkan swasta,” ujarnya.
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo mengatakan, untuk meningkatkan produktivitas bahan baku tebu petani/rakyat seharusnya Kementerian Pertanian secara teknis memberi insentif kepada petani, seperti bibit varietas unggul, teknik budidaya, atau mekanisme panen. Namun, hal itu kurang dilakukan sehingga masalah bahan baku tebu sangat penting di Jawa.
”Revitalisasi di Jawa lebih penting pada masalah kurangnya jumlah bahan baku untuk pasokan pabrik gula dan masalah produktivitas daripada masalah pengelolaan di pabrik gula,” katanya.
Meski demikian, Subiyono mengakui, masih ada kinerja pabrik gula yang belum optimal. Hal itu terlihat dari perbedaan hasil rendemen dan produksi hablur gula pada masing-masing pabrik gula BUMN ataupun dalam PTPN sendiri. Namun, keuntungan PTPN X setiap tahun meningkat. Tahun 2008 keuntungan PTPN X hanya Rp 30 miliar, tetapi tahun 2010 mencapai Rp 160 miliar.
Sekretaris Perusahaan PTPN X Joko Santoso menambahkan, produktivitas bahan baku tebu 80 persen ditentukan oleh kualitas tanaman. Pengelolaan pabrik gula hanya menyumbang 20 persen sehingga kualitas tanaman sangat menentukan.
Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, swasembada gula hanya bisa dicapai dengan memperluas lahan tebu serta peningkatan produktivitas tanaman tebu dan rendemen gula.
”Lahan sulit didapat. Yang paling mungkin, meningkatkan produktivitas tanaman dan rendemen gula, termasuk menekan berbagai bentuk inefisiensi dalam pengelolaan pabrik gula untuk peningkatan rendemen maupun tonase hablur,” kata Bayu.
Saat ini produksi gula kristal putih hanya 2,3 juta ton. Untuk mencapai swasembada dengan produksi 5,7 juta ton tahun 2014, dibutuhkan tambahan produksi gula 3,4 juta ton.
Pengamat pergulaan, yang juga mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Ahmad Mangga Barani, mengatakan, terkait revitalisasi, pabrik gula BUMN kurang memiliki visi harga jangka panjang dan kurang berani mengambil risiko.
Ketika program revitalisasi senilai Rp 8,7 triliun untuk pabrik gula BUMN digulirkan, tidak banyak yang merespons. Bahkan, pada 2008 program terhenti akibat pabrik tidak mau investasi melihat harga gula saat itu yang jatuh.
”Berbeda dengan perusahaan gula BUMN, perusahaan gula swasta terus berinvestasi karena melihat peluang,” katanya
No comments:
Post a Comment