Monday, February 7, 2011

Pertumbuhan Perekonomian Indonesia Tidak Merata

Badan Pusat Statistik mengumumkan, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai 6,1 persen terhadap tahun 2009. Jika perhitungan pemerintah benar, ada 2,44 juta lapangan kerja baru yang tercipta karena setiap persen pertumbuhan ekonomi diasumsikan akan menyerap 400.000 tenaga kerja. Sayangnya, pengumuman tingkat pengangguran selalu dilakukan berbeda dengan produk domestik bruto, yakni Maret.

Mendapatkan pekerjaan adalah impian setiap warga negara yang memasuki masa produktif. Namun, mendapatkan pekerjaan bukanlah akhir dari semua masalah. Apa jadinya jika penghasilan yang diperolehnya itu tidak mencukupi? Apa jadinya jika gaji yang diperolehnya habis tergerus oleh kenaikan harga kebutuhan pokok?

Pertumbuhan ekonomi 2010 yang cukup tinggi itu diiringi kenaikan harga 12 jenis komoditas pangan pokok. Lihat saja, harga beras antara Januari 2010 dan Januari 2011 naik 22,74 persen menjadi Rp 9.200 per kilogram, sementara harga beras termurah juga dilaporkan naik 22,6 persen menjadi Rp 7.452 per kg.

Harga minyak goreng umum antara Januari 2010 dan Januari 2011 naik 14,71 persen menjadi Rp 11.707 per liter, sementara harga minyak goreng curah meningkat 6,8 persen menjadi Rp 11.466 per liter. Komoditas tempe juga lebih mahal 0,82 persen antara Januari 2010 dan Januari 2011 menjadi Rp 8.554 per kg, sementara harga tahu pada periode yang sama dilaporkan lebih tinggi 2,8 persen menjadi Rp 7.471 per kg.

Dengan demikian, meskipun ada tambahan jumlah orang yang memperoleh pekerjaan, penghasilannya itu harus tergerus kenaikan harga. Apalagi, laju inflasi pun begitu tinggi tahun lalu, yaitu 6,69 persen.

Atas dasar itu, wajar saja ada kenaikan kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 4,6 persen karena ada kenaikan harga barang. Pengeluaran rumah tangga atas dasar harga berlaku ini meningkat dari Rp 3.290,8 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp 3.642 triliun pada 2010.

Kontributor pertumbuhan ekonomi lainnya yang menonjol adalah konsumsi pemerintah. Komponen ini diumumkan hanya melonjak 0,3 persen menjadi Rp 581,9 triliun (atas dasar harga berlaku). Itu jelas bukanlah ekspansi pemerintah yang maksimal sebab penyerapan anggaran terjadi sangat lambat.

Realisasi belanja negara hingga akhir November 2010 saja baru Rp 817,2 triliun atau masih 72,26 persen dari target APBN Perubahan (APBN-P) 2010 yang ditetapkan Rp 1.102 triliun. Realisasi belanja ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 yang sudah mencapai 75,8 persen dari target APBN-P 2009 atau sekitar Rp 758 triliun.

Komponen lain yang wajib diperhitungkan dalam pertumbuhan ekonomi adalah ekspor minus impor (net export). Nilai ekspor Januari-Desember 2010 tercatat Rp 1.580,8 triliun, lebih tinggi 14,9 persen di atas tahun 2009, yakni Rp 1.354,4 triliun. Harap diingat, kenaikan itu terdongkrak oleh kenaikan harga jual komoditas andalan ekspor Indonesia, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO), karet, dan barang tambang mentah, seperti batu bara, nikel, dan timah. Ini pun mengindikasikan bahwa Indonesia belum menjadi negara yang mampu memaksimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya.

Perhatian juga perlu diarahkan kepada komponen produk domestik bruto (PDB) lain, yakni pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Meskipun tumbuh 8,5 persen menjadi Rp 2.065,2 triliun pada 2010, masih ada aliran modal asing yang mengalir ke pasar modal tetapi tidak menetap di sektor riil. Ini artinya, ada dana segar yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk menggerakkan mesin pertumbuhan di dalam negeri.

Harap diingat pula bahwa aliran investasi di sektor riil pun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Inilah makanya dalam master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, pemerintah berniat mengalihkan konsentrasi industri dari Jawa ke luar Jawa, yakni dari 30 persen menjadi 40 persen dari total industri di Indonesia pada lima tahun ke depan. Ini menunjukkan bahwa kue ekonomi belum dinikmati seluruh penduduk Indonesia.

Pembangunan ekonomi yang tidak merata menjadi masalah serius karena selain berpotensi menimbulkan kecemburuan antardaerah, hal tersebut juga menjadi sumber ketimpangan kualitas hidup yang berujung pada kerawanan sosial. BPS mencatat, Pulau Jawa menyumbangkan 58 persen terhadap PDB 2010, sedangkan pulau yang lebih besar, seperti Sumatera dan Kalimantan, masing-masing hanya berkontribusi 23,1 persen dan 9,2 persen.

No comments:

Post a Comment