Pengusaha kerajinan batik tulis Jetis Sidoarjo kesulitan mencari pekerja untuk menghasilkan kain batik berkualitas. Selama sepuluh tahun terakhir, hanya tersisa segelintir pembatik, sehingga banyak yang bangkrut.
"Kami terpaksa mempekerjakan pembatik dari Kabupaten Trenggalek," kata Miftach, pemilik usaha kerajinan Batik Dahlia di Kampung Batik Jetis, Sabtu (5/2).
Menurut Miftah, saat ini sangat sedikit generasi muda yang tertarik membatik demi melestarikan budaya bangsa. Ironisnya, justeru sebanyak 10 warga Australia, Jerman, Amerika, Belgia dan Kanada belajar membatik di Batik Dahlia. "Mereka tertarik mengembangkan batik," ujarnya.
Karena ketekunannya mempertahankan batik Jetis, Miftach dipercaya mengikuti berbagai pameran. Sejumlah pejabat negara juga membeli batik karyanya.
Batik Dahlia mempekerjakan 18 orang pembatik. Setiap bulan, rata-rata setiap pekerja hanya mampu menghasilkan empat lembar kain batik berukuran 2,25 X 1,15 meter. Setiap lembar kain batik dijual Rp 180.000 hingga Rp 200.000. Sedangkan, batik berbahan sutera Rp 400.000 per lembar.
Dalam dua tahun terakhir para pengusaha batik sebenarnya kebanjiran pesanan. Terutama setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Persatuan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengakui batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia. "Banyak sekolah yang memesan batik tulis," papar Miftach.
Pesanan berdatangan dari berbagai daerah, seperti Malang, Probolinggo, Jember dan Surabaya. Namun tidak semua pesanan bisa dipenuhi.
Batik Jetis Sidoarjo terkenal kekhasannya. Motif burung merak dengan ekor panjang yang mengembang dan indah menjadi cirinya. Selain itu juga dipenuhi warna cerah seperti biru, kuning dan hijau. Berbeda dengan batik Solo dan Yogyakarta berwarna coklat atau sogan.
Menurut penuturan Miftah, batik Jetis berkembang sejak tahun 1675, serta mencapai masa keemasan pada tahun 1975.
Saat itu terdapat sekitar 20 usaha kerajinan batik. Mereka memenuhi pesanan warga Madura. Namun, pesanan berkurang setelah Madura berhasil mengembangkan batik.
Lantaran tak berkembang, termasuk dalam soal inovasi, sekitar tahun 1990 banyak perajin yang gulung tikar. Hanya terisa rumah batik Dahlia yang dikelola Miftah.
Untuk mengembangkan batik Jetis, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo rajin menggelar pameran, termasuk yang berlangsung di Alun-Alun Kota untuk memperingati ulang tahun Kabupaten Sidoarjo ke 152, 3-6 Februari.
Pameran juga diikuti sejumlah perajin usaha kecil menengah lainnya berupa 11 produk unggulan Sidoarjo. Di antaranya Kampoeng Kemasan (perajin sepatu), Kampoeng Pot Kemangsen Balongbendo, Kampoeng Bebek Kebonsari dan Kampoeng Jajanan Kedung Sumur.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Koperasi Perindustrian Perdagangan, Energi Sumber Daya Alam Kabupaten Sidoarjo, Tjarda, mengakui keunggulan batik Jetis. Namun, berbeda dengan penuturan Miftah, Tjarda mengatakan saat ini terdapat 40 pengrajin batik.
Tidak hanya berada di kampung batik Jetis, tapi juga tersebar di Kecamatan Bluru dan Tulangan. Pesanan meningkat setelah pemerintah daerah mewajibkan setiap Kamis dan Jumat pegawai mengenakan seragam berbahan batik. "Mereka bangga mengenakan pakaian batik," paparnya.
Tjarda juga mengatakan, banyak kolektor batik yang berkunjung ke kampung batik Jetis. Bahkan, para kolektor memiliki batik Jatis yang berusia 80-100 tahun.
No comments:
Post a Comment