Kita ini kaya. Kaya akan keindahan alam dan berlimpah pula keragaman budayanya. Kesadaran itulah yang diangkat harian Kompas setiap hari Sabtu dengan menyuguhkan laporan di halaman depan berkata kunci ”Tanah Air”. Namun, mengapa kita sulit sekali meraih jumlah wisatawan mancanegara yang lebih banyak lagi?
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) tahun 2010 mencapai lebih dari 7 juta orang. Jumlah lebihnya juga sangat sedikit sekali, hanya 2.000-an orang. BPS juga merilis, total pengeluaran wisman tahun 2010 mencapai 7,6 miliar dollar AS atau naik 20,63 persen dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 6,3 miliar dollar AS. Hal itu disebabkan meningkatnya pengeluaran wisman per kunjungan.
Yoris Sebastian, peraih Young Creative Entrepreneur Award British Concil 2006, dalam perbincangan dengan Kompas di Hotel Marina Bay, Singapura, beberapa bulan lalu, menyebut Indonesia sebagai negeri yang kaya. Kekayaan itu adalah sebuah anugerah, yang sayang apabila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kita punya keindahan pantai, bukit dan gunung yang berhawa sejuk. Keragaman budaya pun tidak kalah banyaknya, ditambah lagi keragaman kuliner khas racikan daerahnya.
Namun, tahun 2011, prospek pariwisata menghadapi tantangan berat. Setelah sejumlah bencana melanda negeri kita, tidak sedikit kawasan wisata yang ikut hancur. Bukan hanya bencana, kondisi keamanan juga memainkan peranan.
Tahun ini memang menjadi tahun teramat berat. Industri perhotelan menghadapi impitan kenaikan tarif listrik dan kenaikan bahan baku makanan dan minuman serta kenaikan pajak yang ditentukan pemerintah.
Di lain sisi, tidaklah gampang mempertahankan jumlah wisman sebanyak 7 juta orang. Namun, persoalan sesungguhnya bukan sekadar faktor kuantitas. Percuma saja dari sisi kuantitas banyak apabila wisman hanya berkunjung dalam waktu singkat. Tentunya, nilai devisa atau transaksi juga akan kecil. Di sinilah persoalan muncul dan patut diwaspadai. Wisman dari Timur Tengah, terutama Mesir, yang biasanya berkunjung dalam waktu lama dan tentunya membelanjakan uangnya bisa mencapai 1.500-2.500 dollar AS per kunjungan, kini akan berpikir ulang untuk berwisata ke Indonesia.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik justru tampak sedang berupaya mati-matian untuk menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Tidak tanggung-tanggung, dana miliaran rupiah harus dipertaruhkan untuk sekadar menjadi tuan rumah ajang New7Wonder tersebut.
Ajang prestise ini boleh saja dijadikan pijakan. Namun, pijakan yang pada akhirnya harus mengeluarkan biaya sangat besar bukannya sekadar menaikkan gengsi? Kalau sudah menjadi bagian dari tujuh keajaiban dunia, apakah ada jaminan pariwisata kita akan naik daun melampaui jumlah wisman negara tetangga? Padahal, sampai sekarang banyak daerah tujuan wisata, yang sesungguhnya masih rusak, belum diperhatikan pemerintah pusat dan daerah. Kalau pada dasarnya kaya dan indah, sentuhan promosi dengan menggunakan anggaran ”menjadi tuan rumah” penetapan tujuh keajaiban dunia, sesungguhnya semua wisman akan melirik Indonesia
No comments:
Post a Comment