Tuesday, February 15, 2011

Nasib Buruk Para Petani Garam Di Indonesia

Tanah retak menyangga dangau-dangau beratap rumbia di pagi yang kering di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Hujan yang turun hari itu ikut menghancurkan tambak garam yang bagi para petani adalah ”emas”. Di sana, kesejahteraan dan hidup bahagia bak sebuah mimpi di siang bolong.

Hajrah Daeng Ke’nang (33) membuka hari dengan duduk di muka rumah panggung bambu di Desa Pacelanga, Kelurahan Palengu, Kecamatan Bangkala, Jeneponto. Rumah itu hanya berukuran lima kali enam meter, dijejali dua dipan yang bersisian dengan tempat memasak, dan karung-karung gabah kering.

Di tempat itu Hajrah tinggal bersama suami dan tiga anaknya, sembari menanti kelahiran anak keempat pada lima bulan lagi. Menempel dengan rumah utama, berdiri dangau tempat menyimpan garam yang sudah dikarungi. Garamnya tak beryodium.

Di sepanjang poros jalan Takalar-Jeneponto, pria dan perempuan menjajakan garam dan berharap seorang juragan memborong dengan harga tinggi. Di sini, garam ibarat emas. Petani penggarap mengadu nasib menanti kristal garam terbentuk sempurna. Harga sekilogram garam saat ini Rp 1.500.

Ini momentum yang seharusnya dinikmati petani, yakni kenaikan harga garam. Setelah sepanjang 2010 tambak garam tak berproduksi karena cuaca ekstrem, harga melonjak di tahun 2011 dari Rp 200-Rp 500 menjadi Rp 1.0000-Rp 1.500 per kg.

Akan tetapi, untungkah Hajrah? Saat ini dia punya stok garam tahun 2009. Dari tambak seluas 450 meter persegi, dipanen 300 karung atau setara 150 kuintal garam. Sesuai kesepakatan awal, Hajrah dan suami mendapatkan 200 karung dan pemilik tambak 100 karung.

Keuntungan penjualan digunakan untuk modal mengolah garam pada Juni 2010, yakni sebesar Rp 1 juta. Namun, hujan turun tanpa henti hingga akhir 2010 turut menyapu bersih modalnya. Saat ini tersisa 50 karung garam.

Logikanya, dengan harga garam Rp 75.000 per karung, Hajrah dan keluarga bisa mengantongi Rp 3,75 juta untuk penjualan 50 karung garam yang tersisa. Namun, peluang itu sirna dengan kehadiran tengkulak.

Jerat tengkulak

Kehidupan petani garam di Jeneponto seakan berada di tangan para juragan yang disebut karaeng. Petani terikat pada mereka, bahkan sebelum kristal garam terbentuk. Hanya tengkulak yang mau membeli garam tak beryodium milik petani.

Konsekuensinya, harga jual di tingkat petani bisa sangat murah. Petani pun melepas garam seharga Rp 5.000-Rp 15.000 per karung. Betapa murah!

Seperti Jumat (11/2) siang itu, penantian Hajrah dan suaminya, Pajala Timbuang (45), berakhir. Sebuah truk mendekat, dua pria keluar dan menyapa Pajala seakan sudah mengenal sejak lama. Lalu, karung-karung garam di gudang berpindah ke dalam truk.

Para pembeli ini datang dari sejumlah kota, seperti Makassar, Jeneponto, Bulukumba, Takalar, dan Palopo. ”Mereka sudah biasa datang mengambil garam ke sini,” ucap Pajala.

Pasangan Hajrah dan Pajala harus bergantung pada tengkulak agar garam terbeli. Mayoritas petani garam di kawasan ini pun demikian. Menanti masa panen garam berikutnya dipakai untuk menggarap sawah.

Memutus rantai

Swasembada garam 2012 yang dicanangkan pemerintah seakan menjadi khayalan yang terlalu tinggi jika menengok kehidupan petani. Sejak dari pengolahan hingga pemasaran, petani garam terbelenggu.

Melihat keadaan itu, Jhon Yoris yang juga mengurusi Asosiasi Produsen Garam Beryodium dan Petani Sulawesi Selatan mencoba menjembatani petani dengan pasar. Jhon membentuk kelompok tani di Jeneponto yang secara rutin mendapat bantuan modal usaha dari sebuah bank swasta.

Bantuan ini diberikan per musim penggaraman tanpa bunga sedikit pun. Satu keluarga petani bisa mendapat Rp 300.000 hingga Rp 500.000 yang dicicil hingga garam dihasilkan. Saat ini enam ratus petani bergabung dalam koperasi.

Tantangannya tidaklah mudah karena harus bersaing dengan karaeng yang menguasai garam di daerah itu. Selain itu, kualitas garam Jeneponto masih di bawah garam Madura. ”Masih kelas dua karena tidak semua petani mematuhi standar penjemuran 15 hari,” ucapnya.

Terobosan yang kini tengah diperjuangkan Jhon adalah menentukan standar harga di tingkat petani. Bersama dengan harga, kualitas garam lokal pun harus ditingkatkan.

Kesejahteraan petani garam ibarat mimpi indah. Bermimpi sejahtera saja seolah begitu mewah di tengah alam gersang dan hujan yang makin lama.

No comments:

Post a Comment