Wednesday, February 16, 2011

Perajin Sutera Alam Tidak Berani Berproduksi Hingga Benang Sutera Langka

Defisit benang sutra alam memukul usaha kecil kerajinan pembuatan sarung dan kain sutra di Provinsi Sulawesi Selatan. Perajin tidak berani berproduksi karena menipisnya pasokan benang.

Produksi penenunan sarung sutra yang dikelola Kelompok Usaha Bersama Cura’ La’ba di Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, misalnya, cenderung melambat dua bulan terakhir. Sebab pengiriman benang sutra yang menjadi bahan baku utama terus terlambat.

Saat ini sentra pemintalan benang sutra di Sulsel tersebar di Kabupaten Wajo, Soppeng, dan Enrekang. Benang tersebut dikirim ke seluruh sentra penenunan sutra, seperti di Gowa.

”Pesanan benang dari Sengkang belum datang seminggu ini. Biasanya begitu dipesan langsung tiba esoknya,” ujar Nurbiah (26), perajin yang mengoperasikan alat tenun bukan mesin, Rabu (16/2).

Cura’ La’ba khusus menenun sarung sutra motif Gowa (berpola etnik Makassar). Dalam sebulan dibutuhkan 7 kilogram benang untuk membuat 10 lembar sarung. Dengan alat tenun bukan mesin, selembar sarung rampung dalam tiga hari.

Namun, kelangkaan benang membuat waktu produksi lebih lama. Selembar sarung kini membutuhkan waktu penenunan selama 7 hari, dua kali lipat dari biasanya. Sartika, Ketua Kelompok Usaha Bersama Cura’ La’ba, mengakui, saat ini ia menerima pesanan 12 sarung yang belum satu pun dikerjakannya.

Kelangkaan benang membuat harga benang naik lebih dari 60 persen. Harga benang lokal saat ini Rp 350.000-Rp 400.000 per kilogram. Dua bulan lalu, harganya masih Rp 200.000- Rp 250.000 per kg.

Di tingkat pedagang, harga kain dan sarung sutra pun menjadi mahal. Toko-toko sutra di Jalan Somba Opu, Kota Makassar, menjual sarung dan kain Rp 600.000 hingga Rp 2,5 juta per lembar. Selembar sarung berukuran 2 meter x 2 meter.

No comments:

Post a Comment