Bagaikan angin surga bagi masyarakat Kabupaten Nagekeo di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan tersiarnya kabar investor Australia yang berminat mengembangkan garam di daerah itu. Pemerintah pun telah memproyeksikan lahan potensial tambak garam guna mendukung program swasembada garam nasional.
Nusa Tenggara Timur (NTT) jadi pilihan karena memiliki musim panas panjang sekitar delapan bulan setahun. Lahan itu tersebar antara lain di Kabupaten Nagekeo, Ende, dan Teluk Kupang.
Di Nagekeo, lahan potensial itu terletak di Kecamatan Aesesa, persisnya dalam satu hamparan, yaitu di Kelurahan Mbay II seluas 1.600 hektar (ha). Potensi garam di Nagekeo sangat menggiurkan sebab kabupaten ini mempunyai lahan potensial yang membentang luas dari barat ke timur sepanjang lebih kurang 67 kilometer.
Sementara di kabupaten tetangganya, Ende, lahan potensial garam seluas 1.312 ha, yang tersebar di 3 kecamatan, yakni Wewaria, Kotabaru, dan Maukaro. Semuanya terletak di pantai utara Flores. Namun, upaya menuju ke arah industri besar garam di Nagekeo itu masih jauh dari harapan.
Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Nagekeo Aron Bidaron di Mbay, Sabtu (12/2), mengakui, investor Australia menyatakan baru mau masuk asal tiga prasyarat utama dipenuhi Pemerintah Indonesia, yaitu infrastruktur pelabuhan, akses jalan, dan listrik.
Untuk infrastruktur pelabuhan yang dimaksud, kapasitas Pelabuhan Marapokot yang dimiliki Kabupaten Nagekeo harus ditingkatkan sebab saat ini kapasitas pelabuhan itu hanya berkisar 3.000 ton. Jika industri garam sudah berdiri diperlukan kapasitas pelabuhan berkisar 20.000 ton, karena akan sering keluar masuk tongkang dengan kapasitas di atas 10.000 ton.
Investor juga meminta akses jalan ditingkatkan, terutama di pantai utara Flores yang selama ini tak terurus sehingga banyak badan jalan yang kondisinya rusak parah. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan akses dari pantai utara Ende ke lokasi pabrik garam di Nagekeo, juga alasan efisiensi.
Investor merencanakan membangun pabrik garam di Nagekeo yang khusus untuk bahan baku industri. Dari sana, garam itu dikirim ke Jakarta guna dipasarkan ke pabrik-pabrik yang membutuhkan. Diproyeksikan dalam satu hektar dapat diproduksi 200 ton garam per tahun, sehingga jika minimal terdapat 1.000 ha akan dihasilkan sekitar 200.000 ton per tahun.
Prasyarat lain adalah listrik. Di Kelurahan Mbay II, ada lokasi yang belum ada listrik. Pengamatan Kompas di lapangan, lokasi itu selain tanpa listrik, kondisi jalan juga masih berupa jalan tanah.
”Pemerintah pusat sudah menyatakan akan memenuhi prasyarat yang diminta investor Australia itu. Kami mengharapkan peningkatan infrastruktur pelabuhan, akses jalan di jalur utara Flores, juga jaringan listrik itu supaya segera terealisasi. Kalau Presiden waktu kunjungan kerja ke Kupang pada 9 Februari lalu menambahkan dana Rp 5,3 triliun untuk percepatan pembangunan NTT, diharapkan setidaknya dari dana tambahan itu dapat dialokasikan untuk peningkatan Pelabuhan Marapokot,” kata Aron Bidaron.
Kepastian hukum
Menurut Aron, investor juga menunggu kepastian hukum terbitnya keputusan presiden menyangkut kawasan industri garam nasional. Alasannya, pada lahan 1.600 ha di Kelurahan Mbay II ada pula proyek pengembangan irigasi teknis guna pengembangan padi sawah seluas 1.600 ha.
Dengan demikian, praktis luas lahan garam yang dapat dimanfaatkan hanya 757 ha. Padahal, investor menghendaki lahan tambak garam minimal 1.000 ha yang berada dalam satu hamparan. Keinginan itu cocok di Kelurahan Mbay II.
Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun mengakui, masalah lahan itu telah dibahasnya dengan Kementerian Pekerjaan Umum. ”Rapat telah memutuskan lahan itu diprioritaskan untuk tambak garam. Tanpa lahan yang ada diolah jadi sawah pun, produksi beras nasional takkan terganggu. Sebaliknya, jika lahan itu tidak dipakai untuk tambak garam, maka impor garam tetap marak,” jelas Alex.
Ketua Lingkungan Makipaket di Kelurahan Mbay II, Nasarius Nuwa, berharap rencana industri garam bukan sekadar wacana. ”Jangan seperti tambak garam yang dibangun tahun 2004 dari proyek Dinas Nakertrans NTT, karena hanya sampai tahun 2007, setelah itu tak jelas perkembangannya. Peralatan yang ada sudah banyak yang dicuri orang,” kata Nasarius.
Warga Makipaket lain, Williams Medho, juga mengharapkan industri garam memberikan penghasilan tambahan bagi warga setempat. Itu karena, mereka nyaris tidak memiliki kebun jagung yang luas, dan ternak. Mereka juga sering melaut, tetapi hasilnya selalu fluktuatif. ”Kami ingin industri garam nantinya membuat hidup kami lebih baik lagi,” kata Williams
No comments:
Post a Comment