Friday, February 4, 2011

Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Indonesia Memiliki Daya Saing Tinggi

Usaha penggemukan sapi di Indonesia memiliki daya saing tinggi dibandingkan dengan Australia. Selain lebih murah, berat badan sapi bakalan yang digemukkan di Indonesia juga tumbuh lebih cepat.

Hal itu terungkap dalam kunjungan lapangan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, Selasa lalu, ke area peternakan sapi seluas 100 hektar di Lampung, milik PT Juang Jaya Abdi Alam. PT JJAA merupakan perusahaan multinasional dengan kepemilikan saham CPC Australia 30 persen dan 50 persen milik PT Agro Giri Perkasa (AGP) dan PT Guna Prima Dharma Abdi.

Menurut Bayu, usaha penggemukan sapi di Indonesia sangat prospektif. Dari paparan terungkap bahwa biaya produksi penggemukan sapi di Indonesia lebih murah dan lebih cepat dibandingkan Australia. ”Tentu ini peluang bagi kita,” kata Bayu, Jumat (4/2) di Jakarta.

Wakil Direktur Utama PT AGP Greg Pankhrust menyatakan, usaha penggemukan sapi di Indonesia sangat potensial. Biaya produksi penggemukan sapi dari berat awal maksimal 350 kilogram per ekor menjadi 500 kg atau mencapai berat sapi siap potong hanya Rp 15.000-Rp 17.000 per ekor per hari. Bandingkan dengan di Australia yang mencapai Rp 23.000 per ekor per hari.

Untuk mencapai beras sapi ideal siap potong 450-500 kg butuh waktu 120 hari. Dengan begitu, untuk mendapatkan tambahan berat sapi sekitar 150 kg dalam waktu 120 hari butuh biaya produksi Rp 1,9 juta per ekor.

Kondisi sebaliknya terjadi pada usaha pembibitan sapi dan penyediaan bibit sapi bakalan. Dalam usaha pembibitan dan pembesaran hingga sapi bakalan, Indonesia kalah kompetitif dibandingkan dengan Australia.

Untuk menghasilkan sapi bakalan dengan berat maksimal 350 kg per ekor di Indonesia, dibutuhkan tambahan biaya produksi Rp 6,5 juta dibandingkan Australia. ”Di Australia, sapi begitu lahir dilepas. Di sini tidak bisa. Sapi harus dikandangkan dengan pola intensif,” katanya.

Tambahan biaya Rp 6,5 juta per ekor baru menghitung biaya pakan. Belum tenaga kerja. Saking mahalnya biaya pembibitan sapi di Indonesia, kata Greg, untuk menghasilkan pedet—anak sapi—dengan harga jual Rp 3,5 juta per ekor, butuh modal produksi hingga Rp 7 juta.

Dirut PT AGP Adikelana Adiwoso menyatakan, meski usaha peternakan sapi di luar penggemukan kalah intensif, masih ada peluang bagi Indonesia untuk menandingi Australia, yaitu dengan memanfaatkan lahan perkebunan sawit atau karet untuk area penggembalaan sapi. ”Risikonya memang soal keamanan karena tidak ada jaminan sapi yang digembalakan di perkebunan sawit tidak dicuri,” katanya.

Usaha penggemukan sapi di Indonesia potensial. Tahun 2010 kebutuhan daging sapi nasional mencapai 496.780 ton, setara Rp 29,8 triliun, dengan asumsi harga per kg daging Rp 60.000. Potensi peningkatan konsumsi daging sapi besar karena pada 2011 diproyeksikan konsumsi per kapita daging sapi Indonesia baru 2,10 kg per tahun.

Bayu menyatakan, dengan tambahan biaya produksi Rp 6,5 juta per ekor, untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri agar Indonesia mencapai pengakuan swasembada, butuh dana setara Rp 4,9 triliun per tahun.

Dana itu setara untuk memproduksi 750.000 ekor sapi yang selama ini diimpor, baik dalam bentuk bakalan maupun daging dan jeroan. Melihat peluang dan potensi yang ada, ke depan tidak ada salahnya bila Indonesia mengubah pola produksi daging sapi berorientasi ekspor.

No comments:

Post a Comment