PT Garam (Persero) Indonesia adalah satu-satunya badan usaha milik negara yang mengelola garam. Perusahaan ini meski sudah puluhan tahun beroperasi memproduksi dan memasarkan garam, tetapi belum sanggup memenuhi kebutuhan garam dalam negeri.
Lahan pergaraman milik PT Garam terdapat di tiga kabupaten di Pulau Madura, yaitu Kabupaten Sumenep, Pamekasan, dan Sampang. Total luas lahan yang dikuasai sebesar 5.750 hektar dengan volume produksi 250.000-280.000 ton. Tahun 2010, perusahaan ini hanya mampu memproduksi 23.000 ton.
Produksi tersebut selain dari lahan sendiri, juga dengan membeli garam dari petani yang memiliki kualitas 1 dan 2. Tak banyak petani garam yang mampu menghasilkan garam kualitas 1 dan 2 sehingga pembelian PT Garam atas garam rakyat juga sangat sedikit.
Tahun 2009, PT Garam hanya membeli 126.000 ton garam rakyat dari total produksi 600.000 ton garam di Pulau Madura. Jumlah ini dinilai Presiden Direktur PT Garam Indonesia Slamet Untung Irredenta sudah cukup baik jika dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya 36.000 ton garam rakyat petani di Pulau Madura.
”Tahun 2011 ini kami berencana meningkatkan pembelian garam rakyat dari Madura hingga 180.000 ton. Dan masih akan ditambah dengan membeli garam dari petani garam Jawa Barat dan Jawa Tengah. Total garam rakyat yang akan kami beli sekitar 250.000 ton,” ujar Slamet.
Peningkatan pembelian garam rakyat ditambah produksi lahan sendiri sebanyak 365.000 ton diyakini mampu memenuhi target produksi garam yang dibebankan pemerintah kepadanya di tahun 2011. Tahun 2012, PT Garam ditarget memproduksi 450.000 ton.
Harus dicuci
Tidak banyaknya garam rakyat yang dibeli PT Garam karena dinilai berkualitas rendah. Garam rakyat harus diproses lagi dengan dicuci terlebih dahulu agar menjadi bersih. Sementara garam produksi PT Garam tidak perlu dicuci sebab telah berkualitas baik.
Perbedaan kualitas ini karena proses produksi garam rakyat dan PT Garam pun berbeda. PT Garam menerapkan sistem bertingkat dengan pungutan di atas lantai garam, sedangkan rakyat melakukan sistem sekali pungutan di atas lantai tanah.
Saat panen, PT Garam tidak langsung memungut habis garam dalam sekali pungut. Seusai pungutan pertama, mereka dapat memungut garam hingga beberapa kali sampai diperoleh garam yang benar-benar baik. PT Garam memungut garam 10 hari sekali.
Sementara petani hanya sekali memungut garamnya, dan memungut garam 3-5 hari sekali di seluruh petak lahannya selama musim panen Agustus-November. Petani tidak bisa melakukan beberapa kali pungutan karena lahan mereka tidak seluas milik PT Garam. Sepetak lahan PT Garam biasanya empat kali petak lahan petani rakyat.
”Dengan kualitas itu, maka selama ini kami hanya membeli garam petani yang berkualitas 1 dan 2. Selain memberikan harga bagus untuk petani, juga mengedukasi petani agar tak memproduksi garam kualitas jelek,” imbuh Slamet.
Bagi Slamet, PT Garam pun siap membeli seluruh garam rakyat jika pemerintah mengizinkannya menjadi lembaga penyangga garam. ”Kami siap membeli seluruh garam petani asal pemerintah menunjuk kami menjadi sebagai lembaga penyangga,” ujarnya.
Untuk membuka lahan baru, bukan persoalan mudah bagi PT Garam. Tahun 1990-an akhir, persoalan lahan menjadikan PT Garam dan petani rakyat di Desa Pinggirpapas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, bersengketa. Warga setempat menilai, tanah itu milik mereka yang dipinjam pemerintah sesuai perjanjian pada 7 Agustus 1936 antara Bupati Sumenep (waktu itu) dan Kepala Desa Pinggirpapas dan Kepala Desa Karanganyar. Masa pinjam 50 tahun.
Di mata Syaiful Rahman, Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia, pemerintah juga wajib memberikan bantuan modal kerja di awal masa produksi garam kepada petani. ”Ini untuk menghindarkan sistem ijon, yaitu petani menjual garamnya kepada tengkulak yang telah memberi modal terlebih dahulu,” tegasnya.
No comments:
Post a Comment