Sunday, February 13, 2011

Pelabuhan Merak Harus Steril Untuk Lancarkan Transportasi

Regulator feri, yang kini dipegang PT Indonesia Ferry, dituntut mensterilkan pelabuhan dan muatan kapal. Hal itu merupakan langkah awal yang penting untuk mencegah terulangnya feri terbakar seperti pada KMP Laut Teduh II di lintas Merak-Bakauheni pada 28 Januari 2011.

”Sebenarnya feri adalah angkutan yang aman, lebih aman dari angkutan darat. Dari beberapa kecelakaan, pemicunya diakibatkan tidak tertibnya penumpang feri,” kata Wakil Ketua Umum Indonesia Ferry Association Bambang Harjo, Minggu (13/2), kepada Kompas.

Beberapa kecelakaan feri yang diakibatkan oleh penumpang antara lain MV Pearl Scandinavia (Denmark) pada 17 November 2010 yang terbakar karena korsleting mobil listrik; MV Lisco Gloria (Laut Baltik) pada 9 Oktober 2010 karena ada muatan truk yang terbakar; MV Star Princess pada 23 Maret 2006 karena penumpang membuang puntung rokok di balkon; dan MV Maria Carmela (Filipina) pada 12 April 2002 karena terbakarnya muatan truk kopra kering.

Berdasarkan pengamatan di Pelabuhan Penyeberangan Merak , beberapa hari setelah tragedi KMP Laut Teduh II, melalui pengeras suara diumumkan supaya penumpang tertib. Truk dan bus harus mematikan mesin, sementara penumpang harus naik ke dek penumpang.

Namun, biasanya peringatan itu hanya bertahan beberapa saat setelah kecelakaan. ”Lama-lama juga tidak ada itu peringatan. Perilaku penumpang pun kembali ke sediakala,” kata seorang manajer yang menolak disebutkan identitasnya.

Bambang Harjo mencontohkan, sebelum penumpang dan barang naik ke kapal, pihak pelabuhan, seperti di bandar udara, secara konsisten harusnya sudah menyortir korek api hingga bahan mudah terbakar. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi timbulnya kebakaran.

Operator juga meminta pemerintah untuk mengawasi penumpang feri yang tidak mematuhi aturan dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan terkait larangan tinggal di dek mobil selama feri berlayar.

Namun, juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S Ervan, mengatakan, pengawasan itu merupakan wilayah kerja operator. ”Nakhoda itu punya kewenangan seperti pilot. Jadi dapat saja menurunkan penumpang,” katanya.

Terhadap hal itu, Bambang Harjo menyatakan, ”Kami akan mengawasi penumpang, tetapi tolong supaya ada revisi terhadap SK Ditjen Perhubungan Darat. Inti dari revisi adalah ditetapkannya sanksi bagi pelanggaran oleh penumpang sehingga ada dasar bagi awak kapal menegur.”

No comments:

Post a Comment