Kenaikan harga obat ini sudah terjadi dari pabrik. Sarno (46), pemasar obat dari PT Aktive, mengaku ada peningkatan harga obat mulai 5 persen sampai 10 persen. Meski harga meningkat, permintaan pasar tetap tinggi. Dia mengaku tidak tahu apa penyebab peningkatan harga obat. ”Dari pabrik sudah naik, kami hanya menjual,” katanya.
Di tingkat apotek, peningkatan harga obat bahkan ada yang sampai 43 persen. Peningkatan ini terjadi pada berbagai jenis obat, seperti antibiotik, vitamin, dan obat batuk yang mengandung parasetamol.
Peningkatan harga obat, kata Yeyen, karyawan Apotek Mutiara 1, Depok, awalnya terjadi pada obat China saja. Namun, peningkatan harga kini mulai merembet ke obat kimia. Tidak hanya itu, peningkatan harga obat juga terjadi pada obat generik. Dia mencontohkan amoksilin yang semula Rp 28.000 menjadi Rp 32.000 per kotak isi 100 tablet.
Kenaikan harga obat ini tentu membuat warga kurang mampu khawatir. ”Tidak semua obat ditanggung pemerintah. Kami harus bayar sebagian. Padahal, saya sudah seminggu di sini,” Cecep (33), warga Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, peserta program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok.
Cecep yang menderita demam berdarah sudah mendengar bahwa harga obat meningkat. Dia berharap segera meninggalkan rumah sakit karena biaya semakin membengkak.
Kekhawatiran serupa disampaikan oleh Wati (35), buruh pabrik garmen di Cilangkap, Depok. Wati terlihat cemas ketika mendampingi keluarganya yang menjalani perawatan kanker hati di RSUD Depok. Wati yang berpenghasilan Rp 30.000 per hari khawatir jika jatuh sakit.
Ibu tiga anak ini tidak memiliki sandaran pendapatan yang kuat untuk mengganti ongkos obat karena suaminya bekerja sebagai tukang ojek.
Sementara itu, manajemen rumah sakit swasta yang melayani pasien pengguna Jamkesda mengkhawatirkan kenaikan obat bakal membebani rumah sakit. Pasalnya, mereka melayani pasien sesuai dengan paket per penyakit yang harganya ditentukan pemerintah.
Dampaknya akhir bulan
Yudha Waspada, Kepala Humas dan Pemasaran Rumah Sakit Palang Merah Indonesia di Kota Bogor, mengatakan, dampak kenaikan harga obat itu baru akan diketahui setelah akhir bulan Februari setelah merekapitulasi pengeluaran.
Kendati demikian, pihaknya khawatir kenaikan harga obat itu bakal membebani jika tidak ada perubahan harga paket biaya yang dibayarkan pemerintah per jenis penyakit pengguna Jamkesmas. ”Biaya paket juga meliputi komponen obat. Untuk penyakit dalam, misalnya, komponen obat cukup dominan,” ujar Yudha.
Peningkatan harga obat ini berimbas pada meningkatnya biaya pelayanan rumah sakit swasta, terutama bagi pasien peserta Jamkesda. Sebanyak 14 rumah sakit swasta di Kota Depok mengajukan permintaan peningkatan biaya pelayanan. Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Depok Syahril Amri mengatakan, peningkatan biaya pelayanan ini sudah sesuai dengan kebutuhan yang proporsional.
Selain obat, pihak rumah sakit juga mempertimbangkan variabel biaya dokter, sarana, dan peralatan medis habis pakai. Meningkatnya harga obat memengaruhi biaya pelayanan karena tidak semua obat generik selalu ada di pasaran. Resep dokter pun tidak selalu mencantumkan obat generik.
Berbeda dengan rumah sakit swasta, Humas RSUD Depok Beti S mengatakan, pelayanan pasien peserta Jamkesda tidak memengaruhi pelayanan.
”Kami tetap memberi pelayanan yang sama. Semua biaya pelayanan, termasuk obat, kami klaim ke pemerintah,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Depok Hardiono mengatakan, sikap pengelola rumah sakit swasta berlebihan. Pemakaian obat pasien peserta Jamkesda sudah diatur. Mereka menggunakan obat generik yang harganya telah ditentukan pemerintah.
Sesuai dengan data yang masuk ke Dinas Kesehatan Depok, ARSSI Depok mengajukan peningkatan biaya perawatan rata-rata 45 persen. Bahkan ada rumah sakit yang mengajukan peningkatan biaya pelayanan 100 persen.
”Kami hanya bisa menyetujui peningkatan sampai 30 persen karena alokasi anggaran terbatas,” kata Hardiono.
Asisten Kesehatan Masyarakat DKI Jakarta Mara Oloan Siregar mengatakan, kenaikan ini akan berpengaruh pada anggaran keluarga miskin (gakin). ”Tetapi, jika memang kenaikannya besar dan anggaran tidak cukup, kami akan minta perubahan anggaran,” kata Siregar.
Sementara itu, Yuditha, Kepala Bidang Perencanaan dan Anggaran Dinas Kesehatan DKI Jakarta, mengatakan, anggaran gakin tahun 2011 ini sama dengan anggaran tahun 2010, yakni Rp 513 miliar. Dari dana itu, jumlah yang terserap Rp 512 miliar.
”Obat mengambil alokasi biaya hingga 40 persen dari anggaran tersebut,” jkata Yuditha
No comments:
Post a Comment