Pemerintah akan menghapus beberapa jenis barang yang sebelumnya menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah. Hal tersebut akan dilakukan dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.011/201 tentang barang yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
“Kebijakannya seperti barang mewah akan dimudahkan, sehingga tidak semua barang mewah dikenakan pajak," kata Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (6/5). Menurut Sofyan, hal tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menggairahkan perekonomian yang tengah lesu, terutama dalam hal mendorong konsumsi masyarakat. Ditemui di tempat yang sama, Menteri Perekonomian Bambang P. S. Brodjonegoro juga mengamini pernyataan Sofyan. Menurut Bambang, penerimaan PPnBM atas barang-barang yang dihapus tidak akan berdampak signifikan pada penerimaan pajak negara.
"Iya (aturan PPnBM) akan dibuat revisi, akan dibuat aturan yang bagus. Bagusnya, supaya kamu bisa beli tas mewah," tutur Bambang. Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito menyebutkan beberapa barang yang sedang diupayakan untuk dikeluarkan dari kategori barang mewah di antaranya kulkas, televisi, dan penyejuk udara (air conditioner/ AC).
Berdasarkan aturan yang saat ini berlaku, barang-barang tersebut terkena PPnBM sebesar 10 hingga 20 persen. Kendati demikian, Sigit masih belum dapat memastikan kapan dirampungkannya revisi aturan tersebut. "Saya enggak terlalu berpikir mau cepat-cepat (merampungkan aturannya). Saya masih mau undang lagi (pihak-pihak yang terkait) ," kata Sigit dalam kesempatan yang sama.
Sigit memperkirakan potensi penerimaan negara yang hilang atas revisi tersebut diperkirakan sekitar Rp 400 miliar per tahun. “Hilangnya penerimaan pajak itu bisa kita tutup dengan PPnBM yang lain. Otomatis kalau aturan pajak penjualan barang mewah atas properti jadi, kami akan dapat tambahan penerimaan PPnBM,” kata Sigit ketika ditemui di tempat yang sama. Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini masih menggodok formula pungutan PPnBM untuk kategori properti. Diperkirakan, DJP akan menetapkan tarif pajak bertingkat untuk properti mewah.
“Kita akan membuat semacam bracket-bracket untuk pajak properti mewah. Pertama yang paling bawah mungkin 10 persen, kemudian 15 persen, kemudian 20 persen. Kalau sekarang kan langsung 20 persen (tarif pajaknya),” kata Sigit.Kementerian Keuangan masih menghitung potensi penggelembungan kas negara dari perluasan objek hunian mewah yang terkena pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). "Belum tahu berapa potensinya, masih harus dihitung," ujar Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro di Ritz Charlton, Jakarta, Kamis (7/5).
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro akhirnya menerbitkan aturan terbaru mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang diberi nomor 90/PMK.03/2015. (Baca: Apartemen Seharga Rp 5 Miliar Kini Kena Pajak Barang Mewah)
Dalam aturan yang diteken Bambang pada 30 April 2015 tersebut, juga diatur mengenai kriteria hunian yang terkena PPnBM sekaligus merevisi aturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Nomor 253/PMK.03/2008. Salinan peraturan yang diperoleh CNN Indonesia menyebutkan Bambang menurunkan harga acuan atau threshold, harga minimal hunian mewah yang terkena PPnBM dari sebelumnya Rp 10 miliar untuk rumah beserta tanah, apartemen, kondominium, dan sejenisnya menjadi Rp 5 miliar saja.
Namun, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan wacana Kementerian Keuangan sebelumnya yang berencana mengenakan PPnBM untuk hunian mewah berharga Rp 2 miliar ke atas. Selain menggunakan acuan harga jual, Bambang juga menetapkan pengenaan PPnBM untuk hunian mewah berdasarkan luas bangunan yaitu lebih dari 400 meter persegi untuk rumah tapak, dan lebih dari 150 meter persegi untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya.
Luas bangunan yang terkena PPnBM berdasarkan aturan baru, jauh lebih kecil dibandingkan aturan sebelumnya yaitu 500 meter persegi untuk rumah tapak dan 400 meter persegi untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya. Sayangnya ketika diminta keterangan, Bambang enggan mengelaborasi lebih jauh isi beleid yang ditekennyaMenteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengaku sampai saat ini belum mendapat laporan dari Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro yang telah merevisi aturan mengenai Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu menduga diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 adalah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dari bisnis properti dan otomotif. Sebab sepengetahuan Sofyan, Menteri Keuangan kemarin telah melaporkan rencana untuk menghapus beberapa jenis barang lain dari daftar objek PPnBM.
“Teknisnya saya belum tahu, nanti saya cek dulu aturannya. Setahu saya Menteri Keuangan justru akan menyederhanakan aturan pajak barang mewah. Mungkin objek pajaknya tinggal otomotif dan apartemen mewah, yang lain mereka bebaskan,” kata Sofyan di kantornya, Kamis (7/5). Menurut Sofyan apabila dugaannya tepat, dia menilai kebijakan tersebut merupakan langkah yang tepat untuk mendorong daya beli masyarakat serta menyederhanakan aturan pajak.
“Aturan pajak lebih simpel lebih baik,” katanya. Ditanyakan soal dampak dari berlakunya aturan ini terhadap industri otomotif yang tengah lesu. Sofyan enggan berkomentar jauh. “Memang dari dulu mobil juga kena pajak barang mewah. Tapi kan dulu juga ada pajak barang mewah untuk furniture dan lain-lain. Sekarang kelihatannya aturannya disederhanakan tapi coba cek ke Menteri Keuangan,” ujarnya.
Kemarin, Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito menyebutkan beberapa barang yang sedang diupayakan untuk dikeluarkan dari kategori barang mewah diantaranya kulkas, televisi, dan penyejuk udara (air conditioner/ AC). Berdasarkan aturan yang saat ini berlaku, barang-barang tersebut terkena PPnBM sebesar 10 hingga 20 persen. Kendati demikian, Sigit masih belum dapat memastikan kapan dirampungkannya revisi aturan tersebut.
Pajak Hilang Rp 400 miliar. Sigit memperkirakan potensi penerimaan negara yang hilang atas revisi tersebut diperkirakan sekitar Rp 400 miliar per tahun. “Hilangnya penerimaan pajak itu bisa kita tutup dengan PPnBM yang lain. Otomatis kalau aturan pajak penjualan barang mewah atas properti jadi, kami akan dapat tambahan penerimaan PPnBM,” kata Sigit.
No comments:
Post a Comment