Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan baru pada paruh kedua tahun ini bisa mengenakan cukai atas botol kemasan minuman plastik, dengan tarif spesifik maksimal Rp200 per botol.
"Tujuannya untuk mengurangi konsumsi botol plastik, bukan penerimaan. Karena potensi penerimaannya tidak besar, kurang dari Rp5 triliun," ujar Nasrudin Joko Suryono, Kepala Kepabeanan dan Cukai BKF.
Joko mengatakan, sejauh ini target perluasan objek cukai hanya menyasar pada botol kemasan minuman plastik. Sementara jenis barang konsumsi lain yang sempat masuk dalam daftar ekstensifikasi cukai belum bisa dikenakan cukai pada tahun ini. "Seperti minuman soda, itu belum dibahas lagi. Juga BBM sempat mau dikenakan cukai, tapi belum bisa karena kalau dikenakan saat harganya baru diturunkan jadi naik lagi," tuturnya.
Dia mengatakan rencana ekstensifikasi cukai ini masuk dalam agenda pembahasan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Apabila DPR bisa meluluskannya, maka kemungkinan besar bisa diterapkan pada semester II 2016.
Joko menambahkan, BKF telah mendiskusikan rencana pengenaan cukai terhadap botol kemasan minuman plastik ini dengan sejumlah pihak yang terkait, termasuk Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi).
Menurutnya, tarif spesifik dipilih dalam kebijakan cukai botol plastik ini karena relatif lebih mudah memungut dan menghitungnya. Berbeda halnya dengan tarif cukai rokok yang sifatnya advolarum, di mana tarif ditetapkan dalam persentase tertentu yang mengacu pada harga jual eceran rokok.
"Pokoknya (tarif cukainya) tidak akan lebih dari harga plastik (ritel) yang Rp200 itu," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan semua kemasan plastik akan kena cukai, tidak hanya botol minuman plastik. Dia mengungkapkan kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan pemakaian plastik guna menjaga kelestarian lingkungan.
"Intinya nanti akan mencakup semua jenis yang memakai kemasan, bukan hanya botol (minuman) plastik. Kayak (kemasan) minyak goreng, oli itu nanti juga kena, tidak hanya minuman," kata Menkeu di Jakarta, Selasa (12/4).
Joko mengatakan kebutuhan plastik di Tanah Air pada tahun ini diperkirakan meningkat 6,6 persen, dari 3 juta ton pada 2015 menjadi 3,2 juta ton. Pertumbuhan konsumsi botol plastik relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Dampak yang ditimbulkan negatif karena menciptakan tumpukan sampah yang sulit didaur ulang.
"Jadi hanya botol plastik, untuk kemasan minuman lain tidak. Misalnya botol kaca, itu tidak kena," katanya.
No comments:
Post a Comment