Monday, April 18, 2016

Rumput Laut Dilarang Ekspor Mulai Tahun 2018

Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis menolak wacana larangan ekspor bertahap rumput laut karena bisa merugikan petani yang membudidaya komoditas itu.

"Produksi rumput laut meningkat setiap tahunnya, ada persediaan masih banyak. Kondisi sekarang ini serapan pasar rendah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan pemerintah akan melarang pelaku industri rumput laut untuk mengekspor bahan mentah pada 2018. Hal tersebut dilakukan dalam rangka memberi nilai tambah kepada produk yang akan dijual.
Menurut Jokowi, rumput laut merupakan komoditas yang tengah dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Meski demikian, hingga saat ini jumlah industri yang mampu mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi terbilang masih sangat rendah.

Karenanya, Jokowi mengaku akan menyiapkan industri yang mampu menyerap hasil petani rumput laut. Namun, proses ini akan memakan waktu sekitar dua hingga tiga tahun ke depan. "Barang jadi baik, setengah jadi juga baik, tetapi jangan sampai barang mentah. Sekarang enggak apa-apa, kita perlu waktu dua hingga tiga tahun ini," ujar Jokowi pada saat mengunjungi Pabrik Tepung Agar-agar PT Agarindo Bogatama, Banten, Senin (13/4), bersama Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo.

Perusahaan tepung agar-agar ini misalnya, imbuh Jokowi, mampu menyerap 220.000 ton rumput laut kering. Dengan angka serapan sebesar itu, menurut dia, maka produksi petani seharusnya bisa melonjak tinggi. "Tapi kalau produksinya sepuluh kalo lipat, harus ada industri lain. Jadi dorong industri buat line produksi baru nanti," kata dia.

Bekas Gubernur DKI Jakarta itu berpandangan, perusahaan lainnya bisa memproduksi barang dengan bahan dasar rumput laut lainnya, seperti kosmetik, obat-obatan, dan pasta gigi. "Yang lain cukup banyak, misalnya untuk kosmetik, beda. Untuk pasta gigi, beda lagi. Jadi turunan seperti itu yang harus ada industri hilir, sehingga kita tidak hanya ekspor bahan laut. Biasanya banyak kan kita ekspor ke Tiongkok, Filipina, dan itu harus direm. Sudah saatnya untuk mengembangkan dalam negeri," ujarnya.

Jokowi mengungkapkan, saat ini Indonesia memiliki perusahaan kosmetik dengan bahan dasar agar-agar di Jawa Timur. "Di Makassar ada yang baru, ini mau groundbreaking, tapi untuk kosmetik," kata dia. Sebelumnya, Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) meminta pemerintah melakukan verifikasi ulang atas data produksi rumput laut kering Indonesia. Hal tersebut penting dilakukan sebelum diberlakukannya bea keluar sebesar 44 persen untuk berbagai jenis komoditas tersebut.

"Data yang ada di kami itu produksi rumput laut kering sebanyak 350 ribu ton per tahun. Sementara ada data lain yang menyebutkan produksi rumput laut kering sampai 930 ribu ton per tahun. Nah ini yang harus disamakan dulu sebelum bea keluar ditetapkan," kata Wakil Ketua Umum Astruli Sasmoyo S. Boesari di Jakarta, Kamis (26/3).Kalau tidak diekspor mau diapakan persediaan itu, sementara permintaan pasar luar negeri cukup baik," kata Safari dalam siaran pers ARLI, Minggu (21/2).

Menurutnya, alih-alih meningkatkan daya saing industri dan penyerapan dalam negeri pada rumput laut, sekarang ini para pemangku kepentingan dihadapkan pada wacana pengenaan bea keluar dan larangan ekspor bertahap dalam rangka hilirisasi. Selain mendukung hilirisasi, Safari mendukung sepenuhnya upaya pemerintah dalam penguatan industri olahan rumput laut nasional.

Namun, dia juga mendukung pemanfaatan peluang pasar luar negeri, dengan melakukan pemenuhan bahan baku yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan industri yang dituju. Asosiasi Rumput Laut melaporkan adanya penurunan harga rumput laut kering pasca pengumuman adanya pengenaan bea keluar sebesar 44 persen untuk rumput laut spesies Gracillaria, 21 persen untuk spesies E. Cottoni, dan 12 persen untuk spesies Spinosum.

"Meskipun baru rencana pemerintah, namun harga rumput laut per kilogram kini menurun drastis. Dari seharga US$ 900 per ton (Rp 11,34 juta jika kurs 1 US$ = Rp 12.600) untuk jenis E. Cottoni di bulan Januari kini mungkin nilainya hanya sekitar Rp 4 juta pasca diumumkannya kebijakan tersebut," ujar Sekretaris Jenderal ARLI Mursalim ketika ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Senin (16/2).

Harga yang turun ini disebabkan oleh ketakutan petani rumput laut Indonesia yang tak ingin pangsa pasarnya direbut oleh negara lain. Ia menambahkan bahwa jika rumput laut kering dikenakan bea keluar sebesar 44 persen ditambah harga sebelumnya, maka sudah banyak negara lain yang siap untuk merebut pasar Indonesia.

"Contohnya saja India sudah mulai mau merebut pangsa pasar kita karena kini produksinya sedang melonjak. Mereka memang sedang menggiatkan produksinya karena program pemerintah di sana memang fokus mengembangkan pertanian rumput laut sebagai mata pencaharian warga pesisirnya," katanya.

ARLI juga mengatakan bahwa anjloknya harga ini ternyata menyebabkan petani enggan untuk masuk lagi ke dalam industri hulu rumput laut. Siantang, seorang petani rumput laut mengaku kelabakan pasca adanya usulan Kementerian Perdagangan untuk mengenakan tarif bea keluar tersebut.

"Sekarang harga ekspor kita sekitar Rp 4 ribu per kilogram. Kalau kita dikenakan bea keluar 44 persen, kita harus bayar sekitar Rp 1.760 per kilogram, sehingga kita hanya menikmati Rp 2.240. Dari angka tersebut, kita kan juga harus bayar ongkos panen sebesar Rp 2.000 per kilogram, kalau begini terus mana ada insentif buat kita untuk bergerak di sektor pertanian rumput laut ini," ujarnya ketika ditemui di tempat yang sama.

Padahal menurut Mursalim, kegiatan pertanian rumput laut adalah kegiatan ekonomi yang bisa mengentaskan kemiskinan dengan cepat bagi masyarakat di kawasan pesisir mengingat caranya mudah dan masa panennya cepat.

“Pendapatan petani rumput laut sebulan bisa ditaksir sebesar Rp 4 hingga 6 juta jika produksi dan ekspornya normal. Lebih besar dari Upah Minimum Regional bahkan di Jakarta sekalipun. Sehingga kalau ekspor ini terhambat dan harganya turun, mereka di pesisir ini akan kekurangan pendapatan," kata Mursalim.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bulan lalu Kementerian Perdagangan akan mengenakan bea keluar ekspor rumput laut kering demi menggiatkan hilirisasi komoditas rumput laut. Namun, ARLI menilai langkah ini tergesa-gesa mengingat penyerapan rumput laut kering domestik hanya sebesar 10 persen dari total produksinya

"Kami harapkan pemerintah bisa mengambil langkah-langkah yang strategis agar pengembangan komoditas rumput laut bisa optimal baik dari sisi industri pengolahannya hingga ke perdagangannya agar bisa berpihak pada petani dan pemangku kepentingan lainnya dari hulu hingga hilir," kata Safari.

Menurutnya, perlindungan terhadap sektor hulu perlu diperhatikan dengan baik. Pasalnya, pembatasan ekspor rumput laut memiliki dampak sosial ekonomi yang cukup serius, terutama bagi kesejahteraan petani karena rumput laut merupakan salah satu alat jaring pengaman sosial.

"Kalau ekspornya dibatasi, tentu akan merusak harga rumput laut di tingkat petani dimana pihak-pihak tertentu dapat menekan harga ke tingkat yang lebih rendah. Jika sudah begitu, petani tidak akan berminat lagi mengembangkan rumput laut," pungkas Safari.

No comments:

Post a Comment