Dalam 10 tahun ke depan Indonesia berpotensi terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap). Pernyataan tersebut merupakan kesimpulan dari hasil riset dua akademisi Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri dan Gatot Arya Putra. Faisal menyebut ada beberapa masalah struktural yang membuat Indonesia sulit untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi dan justru menjadikan negara ini rentan terpeleset masuk ke dalam perangkap negara berpendapatan rendah.
Faktor pertama, kata Faisal, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan. Mengutip studi PISA, selama periode 2003-2012, ekonomi nasional tumbuh kurang meyakinkan di tengah perkembangan tingkat kepandaian masyarakatnya yang relatif lebih lambat jika dibandingkan dengan negara tetangga di Asia. Persoalan pendidikan ini terkait pula dengan kewajiban pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakatnya.
"Pendidikan tidak akan berhasil jika manusia yang dididik tidak sehat. Reformasi jaminan sosial merupakan persyaratan penting dalam menjamin kualitas sumber daya manusia Indonesia," ujar Faisal saat mempresentasikan hasil risetnya di Universitas Atmajaya, Jakarta, Senin (18/4).
Menurut Faisal, masalah kualitas pendidikan yang mendasari tingkat kepandaian SDM berpengaruh pula pada faktor yang kedua, yakni tingkat daya guna teknologi. Dia menilai tingkat penggunaan teknologi tinggi dalam proses produksi di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan negara-negara lain. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat keahlian dan kepandaian sumberdaya manusia (SDM) untuk bisa menyerap perkembangan teknologi secara optimal dalam proses produksi.
"Faktor yang ketiga adalah kinerja ekspor berbasis manufaktur yang rendah," tuturnya.
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi ini menjelaskan, sejarah menunjukkan bahwa sektor manufaktur menjadi motor inovasi teknologi yang efektif dalam meningkatkan produktivitas ekonomi di banyak negara.
Dia membuat komparasi peran manufaktur terhadap ekonomi di Korea Selatan dan Indonesia. Pada 1966, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia lebih rendah dibaningkan Korea Selatan. Kondisinya berbalik pada era 1966-2001, kinerja manufaktur Indonesia justru mengungguli Negeri Ginseng. Saat ini tepatnya sejak 2001, manufaktur Korea Selatan melesat meninggalkan Indonesia.
Faktor berikutnya yang berpotensi menyeret Indonesia ke middle income trap adalah kesenjangan pendapatan yang tercermin dari kondisi kesejahteraan pekerja yang rendah. Hal ini tercermin dari koefisien rasio gini Indonesia yang trennya meningkat sejak 1999. "Ketimpangan pendapatan meruakan indikator yang sangat serius untuk melihat apakah Indonesia akan mampu melewati perangkap pendapatan menengah ataupun rendah," jelasnya.
Terakhir faktor depresiasi nilai tukar. Faisal mengatakan jika negara terlalu sering melakukan depresiasi mata uangnya dalam rangka meningkatkan daya saing ekspor produk dengan upah murah, maka negara tersebut gagal dalam melakukan transformasi pembangunan dengan menciptakan produk-produk berbasis keahlian tinggi.
Faisal Basri menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang selama ini ditunjang oleh motor penggerak yang tidak jelas, bukan semata-mata kesalahan pemerintahan Joko Widodo. Pasalnya, buruknya ekonomi Indonesia selama ini merupakan tumpukan kesalahan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, maupun Orde Reformasi.
"Harus diakui tugas pemerintahan Joko Widodo sangatlah berat untuk menjamin bahwa Indonesia terbebas dari middle income trap," katanya. Hasil riset duo akademisi UI tersebut mendapatkan tanggapan dari Emil Salim, Ekonom senior yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Orde Baru. Menurutnya, selama ini Indonesia terjebak olehbooming harga komoditas sehingga pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan sosial.
Eksplorasi perkebunan sawit dan lahan tambang selama ini, menurut Emil salim, merupakan contoh aktivitas bisnis yang mengatasnamakan pembangunan tanpa didukung oleh "otak" yang mumpuni. Indonesia, katanya, sebenarnya selama 28 tahun terkurung dalam jebakan negara berpendapatan rendah (low income trap). Untuk bisa naik menjadi negara berpendapatan menengah, setidaknya pertumbuhan ekonomi harus dijaga stabil di atas 5 persen per tahun.
Untuk bisa naik menjadi negara berpendapatan tinggi sekaligus lolos dari jebakan kelas menengah, Emil Salim memperkirakan eranya baru akan muncul pada periode 2026-2034. "Untuk itu perlu perspektif jangka panjang dalam pembangunan, tidak bisa hanya bergantung pada kabinet yang lima tahun saja," katanya. Untuk bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi 2030, Emil menekankan empat hal, yakni produktivitas ekonomi ditingkatkan, daya saing industri harus lebih baik, keahlian pelaku industri harus ditingkatkan, serta didukung oleh sistem transportasi yang terintegrasi.
"Untuk itu, produktivitas buruh harus ditingkatkan dan keterbatasan infrastruktur harus segera diatasi," katany
No comments:
Post a Comment