Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal merilis peraturan bagi layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) akhir tahun ini. Aturan main ini akan menjadi panduan untuk fintech tumbuh dan berkembang di dalam pengawasan regulator. Muliaman Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK mengungkapkan regulator akan membentuk unit khusus yang akan membawahi fintech.
“Tujuannya agar OJK tidak ketinggalan, agar tidak salah atur atau salah dorong," ujarnya, Selasa (19/4). OJK juga akan mencari masukan dari negara-negara yang sudah mengembangkan lebih dulu memiliki regulasi fintech, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Satu hal yang pasti, aturan yang akan tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) tersebut bukan bertujuan untuk menghambat namun justru mendorong pertumbuhan industri ini. Oleh karena itu peraturannya nanti akan berbeda dengan institusi keuangan pada umumnya. Fokus OJK adalah mengatur fintech yang akan bermitra dengan bank untuk memenuhi dan memperhatikan standar yang berlaku di industri perbankan.
"Tentu risiko manajemen menjadi catatan penting untuk fintech beroperasi. Namun, OJK tidak akan menakut-nakuti. Fintech harus didorong untuk tumbuh karena peluangnya besar untuk mendorong akses keuangan masyarakat," imbuh Muliaman. Ia menilai fintech merupakan perusahaan berbasis teknologi di sektor keuangan. Ini adalah buah karya kreatif anak-anak muda di dunia usaha. Fintech menurutnya dapat menambah daya saing perekonomian nasional dan membuka layanan keuangan seluas-luasnya ke masyarakat dan mendorong efisiensi.
"Kita dorong fintech untuk tumbuh dan berkembang. Jangan anggap fintech sebagai ancaman. Justru perbankan bisa mulai menggandeng mereka, mencari pola kemitraan yang tepat untuk menggandeng fintech dalam inklusi keuangan," terang Muliaman. Sebelumnya, Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK meneyebutkan regulator masih menyisir data jumlah pelaku fintech. Hingga saat ini, jumlahnya berkisar 20fintech. Enam di antaranya merupakan fintech di sektor asuransi, jiwa maupun umum.
Kendati fintech sudah beroperasi di pasar. OJK mengimbau mereka untuk mendaftarkan diri ke regulator. Hal ini dimaksudkan agar fintech mengikatkan diri pada aturan sektor jasa keuangan. "OJK tidak akan mengatur detil mengenai teknologi informasinya. Namun, kami mengedepankan market conduct untuk alasan perlindungan konsumen. Salah satunya terkait permodalan dan kewajiban menyampaikan laporan keuangannya," tutur Firdaus.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan akan melegalkan aktivitas bisnis perusahaan penyedia jasa layanan keuangan berbasis teknologi informasi (Fintech). Namun, OJK akan membuat aturan main, yang antara lain menyangkut permodalan dan keharusan perusahaan fintech terdaftar di OJK.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK menuturkan lembaganya sampai saat ini masih terus melakukan pendataan jumlah perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia. Sejauh ini, sudah terdata sekitar 20 perusahaan fintech yang enam di antaranya menawarkan produk asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum.
"Kami tidak akan melarang. Toh, fintech adalah buah dari kreativitas anak muda dalam berbisnis. Kami justru akan dorong, tetapi mereka harus memiliki aturan main," ujarnya. Menurut Firdaus, OJK tidak akan mengatur detil mengenai teknologi informasi yang digunakan perusahaan fintech. Namun, regulator jasa keuangan tersebut akan lebih mengatur perilaku pasar guna melindungi konsumen.
Firdaus mengatakan lembaganya saat ini tengah menyiapkan Peraturan OJK (POJK) guna mengatur operasional bisnis fintech di Tanah Air. Salah satu yang akan diatur adalah menyangkut permodalan. "Fintech sudah beroperasi di pasar. Tidak mungkin tidak kami izinkan. Hanya saja, kami persiapkan aturan mainnya. Mereka harus terdaftar dan diawasi OJK, dan harus memiliki modal. Selain itu, mereka juga harus menyampaikan laporan keuangannya," jelasnya.
Sebelumnya, OJK menegaskan setiap fintech harus mendaftarkan perusahaan mereka atau akan dilabel sebagai bisnis ilegal. Kendati perusahaan berbasis teknologi, fintech yang bergerak di bidang jasa keuangan harus mengikatkan diri pada aturan sektor jasa keuangan.
Memang, Firdaus mengakui, saat ini, belum ada keluhan atau aduan dari masyarakat pengguna jasa fintech. Namun, patut diwasdapai, pertumbuhan klien fintech yang semakin besar. Ambil contoh, perusahaan fintech 'Uang Teman'yang saat ini memiliki klien 4.000 - 5.000 dengan rasio pembiayaan macet berkisar 1,5 persen.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewaspadai empat risiko yang membayangi bisnis jasa layanan keuangan oleh perusahaan berbasis teknologi ataufinancial technology (fintech). Muliaman Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK menyebutkan, risiko pertama bisnis fintech adalah risiko diserang peretas. Kedua, risiko gagal bayar bagi fintech yang bisnisnya menjadi perantara pembiayaan atau kredit. Ketiga, lanjutnya, risiko penipuan. Risiko terakhir adalah rentan penyalahgunaan data klien.
"Makanya, kami dorong diskusi kelompok sebelum OJK membuat regulasi. OJK juga akan membentuk tim khusus fintech, supaya kami tidak salah atur," ujar Muliaman di Jakarta, Selasa (19/4). Semua risiko itu, kata Muliaman, semakin berpeluang terjadi jika OJK lepas tangan atau tidak mengatur bisnis fintech. Karenanya, bisnis fintech nantinya akan berada dibawah pengawasan OJK, khusus untuk layanan keuangan dan perlindungan konsumennya.
Menurut muliaman, OJK melihat fenomena pergeseran perilaku konsumen, dari layanan tradisional atau konvensional menuju layanan berbasis teknologi informasi. Berdasarkan studi McKinsey, perusahaan konsultan, digital banking telah digunakan oleh 40 persen nasabah. "Artinya, peluangnya untuk tumbuh dan berkembang sangat besar, terutama bagi bisnis start up dan pelaku usaha mikro dan kecil yang tidak feasible bagi bank. Fintech ini menjadi jembatan untuk meningkatkan akses keuangan ke masyarakat," tutur Muliaman.
Data Oliver Wyman, perusahaan konsultan manajemen menyebutkan, Indonesia memiliki peluang memanfaatkan fintech, terutama dalam sektor penyedia pembiayaan online (marketplace lenders). Menurut data mereka, ada kekosongan dana sebesar US$54 miliar bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pada 2020.
Jason Ekberg, Ketua Oliver Wyman Indonesia mengatakan, Indonesia memiliki lebih dari 57 juta pelaku usaha mikro. Namun, hanya satu persen dari usaha tersebut yang dapat berkembang menjadi UKM berdaya saing. "Indonesia memiliki kesempatan memanfaatkan fintech untuk mengisi kekosongan dana, mempengaruhi ekonomi dan memberi dampak positif bagi jutaan orang di negara ini. Fintech adalah sarana baru yang dapat digunakan untuk mempercepat inklusi keuangan," imbuh dia.
Selain itu, laporan Oliver Wyman memperkirakan, Indonesia akan memiliki aset tak bergerak sebesar US$210 miliar pada 2020. Ini merupakan kesempatan besar bagi bisnis penyediaan layanan pembiayaan alternatif kepada individu atau UMKM tanpa melalui lembaga keuangan formal (online peer to peer marketplace lending)
No comments:
Post a Comment