Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyatakan dukungannya terhadap pemberlakuan kebijakan pajak pengampunan pajak (tax amnesty). Kendati demikian, Hipmi menilai draf RUU tax amnesty yang saat ini tengah dibahas di parlemen masih terkesan eksklusif atau hanya menyasar kelompok Wajib Pajak (WP) beraset jumbo yang banyak memarkir asetnya di luar negeri.
"Tax amnesty kami dorong dan kami setujui namun tidak boleh ada perbedaan perlakuan (pada WP), harus ada kesamaan," ujar Ketua Umum Hipmi Bahlil Lahadalia dalam sebuah acara diskusi di Kantor Hipmi, Menara Bidakara Jakarta, Rabu (13/4). Bahlil mengungkapkan, dorong untuk menyamaratakan fasilitas pengampunan pajak tak lepas karena sebagian besar pelaku usaha nasional berasal dari sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Oleh karena itu, dia bilang seharusnya RUU tax amnesty lebih bersifat inklusif dan membuka kesempatan bagi pelaku UMKM untuk mendapatkan fasilitas tax amnesty. "Tax amnesty bagi pelaku usaha kecil dan menengah di dalam negeri akan memberikan kepastian hukum dan akan menggairahkan perpajakan di Tanah Air,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun membantah anggap tentang adanya ekslusivitas dari draf RUU Tax Amnesty. Misbakhun berpandangan, pengampunan pajak dalam draf RUU Tax Amnesty terbuka dan adil bagi setiap warga negara.
Artinya, kebijakan tax amnesty tidak membedakan wajib pajak berdasarkan skala usaha. “(Tax Amnesty) ini terbuka bagi setiap warga negara,” ujarnya. Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI ini menambahkan, kebijakan tax amnesty merupakan suatu kebutuhan negara. DI mana saat ini, ratio penerimaan pajak di Indonesia terbilang sangat rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Sementara itu pemerintah Indonesia diketahui tengah giat membangun infrastruktur. “(Tax amnesty) ini kebutuhan negara yang mendasar, bukan kebutuhan Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo). Kalau Indonesia ingin negara berdaulat, mampu membiayai pembangunan, maka tax amnesty harus segera diberlakukan.," ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan fasilitas tax amnesty diberikan bagi WP yang belum melaporkan asetnya dengan lengkap dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). “Siapapun yang belum melaporkan asetnya secara lengkap di SPT itu bisa ikut tax amnesty,” kata Bambang saat ditemui di Gedung DPR, kemarin.
Menteri Keuangan (Menkeu) menegaskan kembali kewenangannya terkait penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan maksimal untuk enam bulan. Dalam rangka mendongkrak penerimaan negara, diskresi itu bisa diberikan Menkeu selama wajib pajak melunasi tunggakannya sekaligus membayar sanksi denda sebesar empat kali lipat dari nilai pajak terutang.
Fasilitas penangguhan penyidikan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 Tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara, yang efektif berlaku pada 8 April 2016. Beleid ini merupakan revisi dari aturan sebelumnya, yakni PMK Nomor 129/PMK.03/2012, yang terbit di tengah tarik ulur pembahsan Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pidana Pajak (Tax Amnesty).
"Untuk kepentingan penerimaan negara, Menteri Keuangan mengajukan permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung atas tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak," ujar Bambang seperti dikutip dari PMK.
Menurut Bambang, instruksi penghentian penyidikan baru bisa dilayangkan ke Jaksa Agung setelah wajib pajak atau kuasanya mengajukan permohonan resmi ke Menkeu. Permohonan baru bisa diajukan setelah wajib pajak melunasi tunggakan pajaknya plus sanksi denda sebesar empat kali dari nilai pajak terutang. "Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan," jelas Bambang.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan telah mewawanakan kebijakan amnesti pajak cukup lama demi mendorong repatriasi aset Warga Negara Indonesia (WNI) yang terparkir di luar negeri. Dengan menggunakan skema uang tebusan, Kemenkeu menawarkan insentif keringanan tarif bagi WNI yang memindahkan aset yang dilarikannya ke dalam negeri.
Untuk melegalkan kebijakan ini, pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pidana Pajak ke DPR pada tahun lalu. Namun, terjadi tarik ulur di parlemen soal pembahasan RUU ini karena sikap fraksi terbelah mengenai konsep amnesti pajak. Selain dua fraksi menolak, empat fraksi di DPR bersedia melanjutkan dengan syarat dan catatan menyangkut kelanjutan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
No comments:
Post a Comment